Di perempatan jalan, saat lampu merah biasanya ada anak-anak jalanan yang membagikan amplop kosong. Umumnya ada tulisan yang intinya minta sumbangan.
Sekian lama sudah tidak begitu respek. Karena sudah beberapa kali saya melihat secara langsung, uang yang mereka dapatkan disetor kepada seseorang yang menunggu di tempat tertentu. Biasanya di warung.Â
Bahkan saking gregetnya, saya pernah menuliskan hal ini untuk mendapat perhatian lihat berwenang. Karena anak-anak ini menjadi semacam sapi perahan.Â
Namun hari itu, saat pergi dengan anak yang masih sekolah di SMK. Pada momen itu kebetulan ada seorang anak membagikan sebuah amplop.Â
Seketika saya berikan kepada anak, sambil berkata, "Isi, De." Sekalian mau tes kemurahan hatinya. Itu tujuan awalnya.Â
Dia mengeluarkan dompet ,"Lima ribu ya, Pi." Spontan saya jawab,"Dua ribu aja." karena saya lihat ada lembaran dua ribu di dompetnya.Â
Setelah itu kami melanjutkan perjalanan tanpa masalah. Tidak juga membahas tersebut. Sebab tujuan utama kami adalah untuk membeli perlengkapan gitar.Â
Baru setelah pulang, timbul pikiran tidak nyaman. Ada semacam perasaan bersalah. Apa yang salah?Â
Bersalah merasa menghalangi niat baik anak. Ingin ia murah hati. Saya malah mengurangi.Â
Dengan uang jajan yang pas - padan, ia masih rela mengeluarkan lima ribuannya. Saya sendiri justru membatasi. Apa pula ini?Â
Di lain sisi, saya juga merasa sudah tepat untuk membatasi. Puas  dengan tindakannya mau memberi.Â