Masih kuat dalam ingatan ini. Bagaimana perlu kesabaran hanya untuk mengajarkan kata 'terima  kasih'. Butuh bertahun-tahun sampai si kecil terbiasa. Karena selalu lupa dan lupa.Â
Sebagai orang tua, malu rasanya bila ada teman atau saudara yang memberikan sesuatu, ia sampai lupa. Sampai-sampai harus mengingatkan. Seakan tak pernah mengajarkan.
"Kok papi gak ngucapin 'terima kasih' sama dede?" Si kecil protes. Saya tidak mengucapkan terima kasih ketika selesai saya minta tolong. Memalukan.Tidak berani mengatakan lupa. Â Akhirnya harus berucap,"Oh, terima kasih."
Beginilah kehidupan. Saya kira banyak terjadi kasus seperti yang saya alami. Sibuk mengajarkan kebaikan. Â Sendiri tak menjalankan. Tak henti-hentinya mengingatkan. Sendiri lupa melakukan.
Orang yang diajarkan kebaikan sudah mampu menjalankan. Sendiri malah melalaikan. Apa tidak memalukan?
Bahkan di atas mimbar bisa berkobar-kobar membabarkan akan cinta kasih dari waktu ke waktu kepada umat. Tetapi sama pembantu di rumah tak mampu memberikan kasih itu.
Diri ini sibuk mendidik anak-anak atau orang lain. Namun lupa untuk mendidik diri sendiri.
Adalah benar bahwa orang bijak mengatakan, ketika menasehati orang lain sesungguhnya ada juga menasehati diri sendiri. Sebab jarak mulut yang paling dekat adalah  ke telinga dan hati sendiri.
#refleksihatiuntukmenerangidiri
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H