Dalam perjalanan pulang sehabis mengumpulkan ranting-ranting pohon di gunung, seorang biksu bertemu dengan seorang pemuda yang sedang menggenggam seekor kupu-kupu.
Pemuda itu menantang sang biksu  untuk menebak kupu-kupu yang ada dalam genggamannya. Hidup atau mati?
Bila salah menebak, maka pemuda meminta ranting-ranting dari sang biksu.
Sang biksu tanpa ragu mengatakan, bahwa kupu-kupu dalam genggaman pemuda itu, mati. Seketika pemuda itu tertawa puas, karena jawaban sang biksu salah dan ia telah merasa telah jadi pemenang.
Lalu sang biksu menyerahkan pikulan ranting-ranting pohonnya kepada pemuda itu dengan gembira. Pemuda menjadi heran dengan sikap sang biksu.
Mengapa sang biksu justru merasa gembira padahal baru saja ia mengalami  kekalahan dan kehilangan ranting-ranting pohon yang telah susah payah ia kumpulkan?
Sebab sejatinya ia adalah pemenangnya. Ia dengan kebijaksanaannya telah menyelamatkan kehidupan seekor kupu-kupu. Itu lebih berharga daripada sepikulan ranting-ranting pohon. Ia tidak takut akan kekalahan dan mengalami kerugian.
Sang biksu menyadari, apapun jawabannya pasti akan salah. Apabila ia menjawab kupu-kupu itu hidup, maka dalam sekejap pemuda itu pasti akan meremas kupu-kupu itu sampai mati.
Sebaliknya dengan pemuda itu, demi menjadi pemenang, ia tidak ragu untuk mengorbankan kehidupan makhluk lain. Demi kemenangan, ia akan menggunakan cara licik, walau itu ada yang mengalami kerugian atau kematian.Â
Inilah sikap hidup kebanyakan di antara kita. Untuk menjadi pemenang dalam kehidupan rela melakukan dengan cara apapun yang tidak baik. Cara-cara kotor dan tak beretika. Bahkan rela menghianati nuraninya sendiri dan mendustakan Tuhan.
Â