Orang buta membawa lentera. Kidah yang menginspirasi. Ada beragam versi dan interpretasi. Ada makna dan pemahaman tersendiri.
Orang buta membawa lentera di kegelapan malam. Tentu bukan untuk menerangi jalannya agar tidak tersesat. Sebab baginya ada atau tidak ada lentera sama saja.
Orang buta membawa lentera di gelapnya malam, agar orang dapat melihat dia dan tidak menabraknya.
Suatu ketika, dalam perjalanan pulang, orang buta yang sudah membawa lentera tertabrak seseorang sedang lari terburu-buru. Yang menyebabkannya ia terjatuh dan marah.
"Hei, kamu buta ya? Apa tidak melihat lentera yang saya bawa? Dasar buta!"
Yang menabrak tak mau  kalah,"Anda yang buta, lentera Anda sudah padam!"
Kalau kisah ini diangkat di panggung "Opera Van Java" pastilah lucu dan bikin tawa meledak.
Bila terjadi dalam panggung kehidupan bukan lucu lagi yang ada. Namun rasanya ingin mengurut dada.
Panggung pertunjukan begitu luas pada masa kini. Seperti halnya orang buta yang lupa dirinya buta, sehingga tidak sadar memarahi orang lain buta.
Kita begitu mudah mengatakan atau tepatnya menuduh orang lain bodoh dan tidak sadar. Bahkan pada presiden yang dipilih lebih separuh rakyat negeri ini. Â
Tentu saja atas kehendak Yang Mahakuasa, sehingga dilantik jadi presiden masih ada merasa dirinya lebih pintar dan dengan mengatai presidennya bodoh. Padahal dirinya alih-alih jadi presiden, jadi RT saja belum tentu ada yang mau pilih.