Malam itu sehabis menemani mama di sebuah rumah sakit di Jakarta, saya bermaksud pulang. Namun di lobi saya bertemu seorang ibu yang menawarkan minuman hangat, susu jahe.
Karena sedang tidak fokus saya kurang memedulikan tawaran tersebut. Hanya sekilas memandang ke ibu yang menawarkan. Lagi pula memang sedang kurang berminat untuk beli-beli.
Namun setelah beberapa langkah melewati, kaki saya tertahan dan balik kembali untuk membeli sebungkus. Jadi dalam hal ini saya membeli bukan karena memang sedang ingin membeli. Ada sesuatu motivasi lain. Â Saya kira semacam teguran atau pengingat dari dalam diri. Lalu muncul rasa kasihan.
Pasti hal ini muncul sebab sudah lama tak sensitif lagi merespek suara hati, sehingga banyak kesempatan untuk melaksanakan suara hati dalam bentuk perbuatan baik terlewatkan.
Ternyata ini pun masih belum cukup untuk menggetarkan jiwa saya dalam-dalam. Baru dalam perjalanan rasa sesal itu muncul. Kenapa saya hanya membeli satu? Bukan dua, tiga, atau empat, bahkan lima?
Di satu sisi mengatakan sebenarnya masih mampu untuk membeli beberapa bungkus. Namun di sisi lain ada pembelaan bahwa masih banyak keperluan lain yang mendesak.
Toh yang penting sudah membeli untuk menambah omset penjualan ibu itu. Lagi pula masih bisa menambahkan kebaikan itu dengan mendoakan, agar dagangannya laku semua.
Demikianlah bila kebaikan hati masih penuh dengan pertimbangan dan perhitungan, sulitlah melakukan kebaikan yang sesungguhnya. Melakukan kebaikan pun setelah ada pengingat, bukan berbuat secara alami.
Yang lebih menyedihkan masih saja selalu ada pembelaan atau pembenaran untuk tidak melakukan kebaikan yang lebih lagi. Â Yang penting sudah berbuat baik. Bukankah sungguh sebuah persepsi tentang kebaikan yang tidak baik?
||Pembelajarandarisebuahperistiwa
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H