Ketika emosi yang menjadi guru, seringkali tak sadar apa yang menjadi perilaku. Emosi memang membuat tak sadar diri.
Seorang karyawati baru-baru ini curhat sama saya. Ceritanya ia dimarahi atasan dengan perkataan 'tak punya otak'. Sakitnya tuh di sini. Akibatnya Ia mengurung diri setengah jam di WC dan menangis.
Sebenarnya ikut geram juga. Tetapi masih berusaha sok bijak. Seperti biasa. Lalu saya tanya,"Mau saya ajari, kalau kamu dibilang tak punya otak lagi?"
Saya mengatakan padanya, tak usah emosi. Bilang begini,"Kalau bapak punya otak, tak mungkin mengatai saya tidak punya otak. Jelas-jelas saya punya otak di dalam kepala saya yang diberikan oleh Tuhan."
Bagaimana? Apakah dia berani atau tidak mengatakannya.
Sederhananya sama seperti kasus lain. Bila seseorang mengatakan orang lain bodoh, sebenarnya sama saja itu menunjukkan kebodohannya.
Bila seseorang mengatakan dirinya tidak sombong, dalam waktu yang bersamaan sebenarnya sedang menunjukan kesombongan dirinya.
Artinya menyombongkan diri bahwa dirinya tidak sombong. Tentu saja orang yang tidak sombong tak akan sampai meminta pengakuan.
Seperti juga bila mengatakan bahwa dirinya orang baik, itu sama saja sedang menunjukkan ketidakbaikannya. Bukankah ada kebenarannya?
Orang yang benar-benar baik tentu tidak perlu memberitahukan kepada orang lain. Kebaikannya adalah melalui perilaku, sehingga orang lain yang akan menilai bahwa dirinya orang baik. Mengaku-ngaku diri sendiri baik, tentu bukan hal yang baik.