Mohon tunggu...
Katedrarajawen
Katedrarajawen Mohon Tunggu... Penulis - Anak Kehidupan

Merindukan Pencerahan Hidup Melalui Dalam Keheningan Menulis. ________________________ Saat berkarya, kau adalah seruling yang melalui hatinya bisikan waktu terjelma menjadi musik ... dan berkarya dengan cinta kasih: apakah itu? Itu adalah menenun kain dengan benang yang berasal dari hatimu, bahkan seperti buah hatimu yang akan memakai kain itu [Kahlil Gibran, Sang Nabi]

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Demi Menjaga Malu dan Gengsi

7 Oktober 2018   09:50 Diperbarui: 7 Oktober 2018   10:50 873
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pasca bencana gempa dan tsunami di Palu dan Donggala, 28 September 2018, masyarakat tergerak untuk mengadakan pengumpulan dana bantuan. Hati kita masing-masing pasti ikut tergelitik untuk menyumbang secara spontan.

Di salah satu grup WhatsApp yang saya ikuti pun mengadakan penggalangan dana. Tentu saya pun berniat untuk berdana sesuai dengan kemampuan.

Apa yang terjadi? Ketika penggumpulan dana mulai berjalan rata-rata yang menyumbang bernilai satu juta. Jadi ciut nyali dan berkecil hati. Karena niat yang ada menyumbang sekian puluh ribu.

Tunggulah, mungkin besok  ada temannya. Tetap saja yang menyumbang dengan nominal sejuta dan lima ratus ribuan.

Jadi perang batin. Padahal di pengumuman sudah tertulis 'besar atau kecil dana  Anda tetap berarti'. Saya kira sudah sangat paham dengan hal ini, berdana  bukan soal besar atau kecil yang penting adalah niat dan ketulusan.

Itu kebenarannya. Tetapi tetap saja merasa  minder. Ya, sudah menyumbang di tempat lain saja dengan cara transfer. Sama saja, kan?

Namun   akhirnya tetap saya ikut menyumbang di grup WhatsApp dan masih tetap tercatat sebagai pendana dengan nilai terkecil.

Luar biasa memang, ketika ada niat untuk berbuat sesuatu yang baik, malah merasa malu dan rendah diri. Demi mementingkan muka dan gengsi. Kadang demi semua ini, niat baik yang sudah ada malah terkubur.

Sebaliknya ada pula yang demi muka dan gengsi melakukan melebihi kemampuan yang dimiliki, sehingga menjadi beban di kemudian hari dan penyesalan.

Sejatinya berbuat baik merupakan kealamian. Mengalir tanpa beban, malu atau gengsi. Bukan berbuat baik dengan segala syarat dan ketentuan yang membebani diri. Berbuat baik memang masih perlu perjuangan, bila memahami kebenaran ini hanya dalam teori.

Atas nama menjaga muka, harga diri dan gengsi, kita malah kehilangan untuk berbuat sesuai sejati diri. Beginilah dunia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun