Waktu itu menjelang senja saya berduaan dengan si dede di rumah. Tiba-tiba si dede memegang dagunya sambil berkata,"Pi, itu sikunya ada apa?" Bingung. Saya perhatian si dede. Ia masih dalam posisi tangan memegang dagu mengulangi perkataannya.
Karena saya belum bereaksi, Â masih dalam kondisi bingung si dede yang tangannya masih memegang dagu kembali berkata yang sama lagi.
Kali ini saya bereaksi dengan berseru,"De, itu kan dagu bukan siku!"
Si dede tertawa,"Ternyata papi gak ketipu ya..."
"Kenapa?" tanya saya penasaran.
"Soalnya mami dan kakak tertipu. Teman dede juga banyak yang ketipu ikut dede megangin dagunya." si dede menjelaskan.
Entah siapa yang memulai permainan ini dan apa tujuannya, saya kurang mengetahui. Namun dapat mengambil pembelajarannya dalam versi sendiri.
Kita dalam hidup memang seringkali tidak fokus dengan tujuan dan prinsip hidup sendiri. Mudah terpengaruh oleh sikap orang lain atau gampang ikut arus. Yang dikatakan siku, kita ikut pegang dagu karena kita lihat orang tersebut pegang dagu.
Orang marah kita ikut marah. Ada orang benci kita balas benci. Orang ramai caci-maki di media kita ikutan. Ada teman menyebar hoaks kita berlaku sama. Orang melawan arus atau menerobos lampu merah kita tak mau kalah. Teman gonta-ganti ponsel baru kita pun begitu. Padahal belum tentu sesuai kebutuhan. Gengsi yang paling dibutuhkan.
Tidak heran juga di zaman yang sudah modern dan orang-orang pintar masih banyak yang  bisa tertipu oleh investasi bodong karena pengaruh teman dan iming-iming yang sebenarnya tak masuk akal.
Kita tahu semua itu salah atau ada yang janggal. Tetapi apa mau dikata, pengaruh orang lain lebih kuat, sehingga jadi ikut barisan melakukan kesalahan yang sama. Kita berdalih yang lain juga begitu. Jadi apa salahnya kalau saya juga seperti itu?