Dialog dengan Si Marah 09:01:04 | 09 Januari 2018
Aku marah pada diriku yang suka marah. Ya aku marah, kenapa diri selalu marah. Ada yang salah, marah. Tidak ada apa-apa, marah. Kalau tidak marah sehari saja tak lengkap hidup ini rasanya.
Aku telah menyimpan  kebenaran di bawah alam sadar, bahwa kemarahan itu ada baiknya dan akan menyelesaikan masalah. Tetapi kemudian kupikir ini adalah kesesatan berpikirku.
Ketika aku marah pada amarahku, semakin melawan pula amarahnya. Kemarahan semakin jadi. Pasti ada yang salah dalam hal ini.
Si marah menantang,"Kau mau marah padaku? Coba pikir dulu. Aku adalah kamu!"
Betul juga, kemarahan adalah bagian dari diriku. Mengapa aku yang harus marah pada kemarahanku?
Si marah memprovokasi,"Dasar kamu bodoh, tidak percaya diri, pengecut. Takut dan malu pada kemarahanmu sendiri!"
Aku takut dan marah, sebab merasa tidak nyaman dan malu karena merasa tidak mampu mengendalikan diriku.
Si marah semakin jadi,"Dasar manusia goblok kamu. Apa salahnya dengan marah? Semua manusia juga suka marah. Marah itu manusiawi, tolol!"
Ya, marah manusiawi, itulah yang selalu menjadi pembenaran, sehingga akan selalu dalam jebakan kemarahan. Kalau dari bangun tidur, siang sampai mau tidur selalu marah, bisa-bisa aku tak layak disebut manusia lagi.
Si marah berganti nyinyir,"Yaaaa, dasar lebay, Â jangan sok alim bijaksana deh ente. Kalau memang sudah pemarah ya nikmati saja. Tak usah banyak pikir. Jangan jadi manusia lemah. Hayo, marah! Takut?