Mohon tunggu...
Katedrarajawen
Katedrarajawen Mohon Tunggu... Penulis - Anak Kehidupan

Merindukan Pencerahan Hidup Melalui Dalam Keheningan Menulis. ________________________ Saat berkarya, kau adalah seruling yang melalui hatinya bisikan waktu terjelma menjadi musik ... dan berkarya dengan cinta kasih: apakah itu? Itu adalah menenun kain dengan benang yang berasal dari hatimu, bahkan seperti buah hatimu yang akan memakai kain itu [Kahlil Gibran, Sang Nabi]

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Membilas Duka, Luka dan Kepahitan dengan Senyuman

6 Januari 2018   07:40 Diperbarui: 6 Januari 2018   08:26 600
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Heboh dan simpang siur  berita tentang siswa yang tidak ambil ijazah karena merasa belum melunasi iuran dan kemudian  kirim surat ke Ahok, menggali kenangan yang sudah tenggelam bagi diri ini. Ada luka dan duka yang pernah terasa. Ada rasa marah dan juga air mata bercampur malu atas ketidakmampuan yang ada.

Ketidakmampuan memang bisa mendatangkan ketidakberdayaan untuk melawan. Sebab merasa itu adalah kesalahan diri. Tak berhak untuk menyalakan siapapun. Hanya ada rasa marah yang tertahan di rumpun-rumpun hati yang sesungguhnya melukai diri. Tetapi itulah yang terjadi.

Mungkin kisah dari Lamongan menjadi ramai dan heboh karena menyangkut sosok Ahok, mantan Gubernur Jakarta yang masih banyak merindukan dan muak pada dirinya. Begitulah kenyataan.

Ya,  soal siswa-siswi yang tak bisa mengambil ijazah atau rapor bukanlah omong kosong. Bukan karena malu atau tahu diri. Karena memang ada sekolah yang punya ketentuan harus lunas iuran yang diwajibkan baru bisa mengambil rapor.

Sebenarnya bisa dimaklumi. Apalagi di sekolah swasta yang memang mengandalkan pemasukan dari iuran siswa demi kelangsungan proses mengajar. Andai tidak ada aturan yang keras ini, bisa saja orangtua murid suka-suka dalam membayar iuran. Biasanya kan begitu.

Namun ada aneh dan mengada-ada ketika sekadar melihat isi saja tidak boleh. Itulah yang membuat istri sangat kecewa dan memendam marah. Dimana anak sudah sekolah sejak TK  sudah belajar di sekolah itu tetap bergeming tak memberi izin untuk sekadar melihat nilai rapor anak yang ketika itu kelas empat SD.

Entah bagaimana ceritanya kasus ini sampai ke LSM dan wartawan yang ujung-ujungnya cuma memanfaatkan kesempatan.

Dari proses hidup ini terutama yang dialami si dede saya kira ada keberuntungannya di balik kepahitan yang terasa. Karena sejak itu ia dipindahkan ke sekolah negeri dan kebetulan dapat yang favorit.

Apa keberuntungan itu? Ketika sekolah di swasta si dede hanya memiliki teman-teman dengan satu etnis saja. Tetapi di negeri dari berbagai etnis sampai kemudian berlanjut ke SMP 1 yang juga merupakan sekolah favorit di kota kami.

Yang saya merasa beruntung juga adalah si dede merasa sangat nyaman dengan lingkungan sekolahnya dan sampai sekarangpun masih sering berhubungan dengan teman-teman di masa SD.

Jadi perjalanan hidup ini mengajarkan bahwa ketika ada luka, duka, air mata dan kepahitan tak usah berlama-lama dan terlena di dalamnya. Namun tetaplah tersenyum sebab ada sesuatu yang berharga di baliknya. Pengalaman hidup saya dan saudara semua sudah membuktikan.  Saya percaya itu!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun