Namanya manusia memang tidak jauh dari lupa dan marah. Memang sudah dari sananya. Dari sifat jadi penyakit. Kronis lagi. Herannya masih banyak manusia yang merasa nyaman. Coba kalau penyakitnya itu tumor atau kanker pasti langsung panik.
Soal lupa dan marah ini saya punya sekelumit kisah dengan teman akrab di pabrik bagian office boy.Ia yang jadi tumpuan kebutuhan dapur. Karena saya masak sendiri, tidak makan katering yang disediakan.
Seringkali apa yang saya pesan selalu lupa dan lupa. Supaya tidak lupa, dikasih catatan malah hilang. Bagaimana tidak bikin marah?
Dimarahi ia malah menjawab enteng,"Namanya juga manusia, Pak!"
Ya, namanya juga manusia. Jangan pikir jawabannya membuat saya tambah marah. Tidak saudara-saudara. Tetapi saya ganti dengan menceramahi nya. Padahal saya bukan ustad, Â pendeta atau biksu. Apa yang saya ceramahkan? Rahasia dong.
Jadi antara lupa dan marah itu sudah menjadi rutinitas kami. Saya sampai tidak habis pikir. Mengapa ia bisa begitu lupa terus? Sebaliknya mungkin juga ia berpikr penuh tanya. Kenapa saya dimarahi terus? Padahal sudah tiap hari diambilkan sayur.
Sampai suatu saat, kalau ada pesanan saya yang lupa diambil. Paling saya mengingatkan,  agar  besok jangan lupa diambil. Apa karena saya lupa marah atau sudah bosan? Mana ada bosannya kalau urusan marah?
Dari peristiwa di atas saya mencatat ada dua pembelajaran menurut versi Katedrarajawen. Silakan kalau mau bikin versi sendiri.
Ini adalah masalah persepsi yang sangat merugikan dalam hal pertumbuhan kerohanian kita. Dalam hidup tentunya kita wajib untuk terus bertumbuh semakin baik dari hari ke hari.
Bukannya semakin menyesatkan diri dalam kesalahan dengan persepsi yang salah.
Ketika kita melakukan hal yang salah, kita sering membuat pembelaan dengan berkata,"Namanya juga manusia!"