Â
Photo credit: bogaert from morguefile.comÂ
Pagi ~ 19:38 25 Desember 2015Â
Pagi mentari bersinar cerah menyapa. Sayangnya manusia jarang menikmati lagi. Oleh kesibukan mendesak sejak mentari malu-malu muncul di ufuk sana. Â Semua terburu-buru dengan urusannya sendiri. Â Bangun pun terburu-buru, hingga tak sempat lagi menyapa Ilahi dan untuk mengucap syukur dengan wajah ceria.
Aroma wangi udara pagi pun tak sempat tercium lagi. Kicau burung nan merdu sudah tak peduli. Hidangan pagi pun dinikmati sambil ke sana-sini. Ritual minum kopi terasa basi. Orang-orang berlomba seakan hari hendak kiamat memacu kendaraannya sampai hilang peduli. Semau enak sendiri. Pagi pun berhias emosi.
Para ibu tak kalah sibuk mengurus si buah hati. Tak lupa berlari-lari sambil menyiapkan sarapan pagi. Â Hadirnya mekar bunga melati yang mewangi tak ada rasa lagi. Lebih menarik sajian di televisi.
Sementara anak-anak tertatih menggendong tas yang berat sekali. Mata mengantuk melangkah dengan berat hati. Nikmatnya udara pagi pun tak dimengerti. Dan anak-anak tak diajari untuk memahami.
Aku tak mengerti. Mengapa suasana pagi nikmat nan indah tak menarik lagi untuk dilalui dengan wajah berseri-seri. Semua katanya demi  tuntutan hidup masa kini.
Tuntutan zaman telah membuat manusia mengingkari  untuk hidup alami. Selalu ada pembenaran untuk tidak  hidup sesuai irama hati. Keadaan selalu menjadi sumber kesalahan atas ketidakmampuan menjadi pengendali. Dan aku menjadi bagian dari semua ini.
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H