Mohon tunggu...
Katedrarajawen
Katedrarajawen Mohon Tunggu... Penulis - Anak Kehidupan

Merindukan Pencerahan Hidup Melalui Dalam Keheningan Menulis. ________________________ Saat berkarya, kau adalah seruling yang melalui hatinya bisikan waktu terjelma menjadi musik ... dan berkarya dengan cinta kasih: apakah itu? Itu adalah menenun kain dengan benang yang berasal dari hatimu, bahkan seperti buah hatimu yang akan memakai kain itu [Kahlil Gibran, Sang Nabi]

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Menilai

21 Januari 2014   07:53 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:38 238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Apakah kita harus menyalahkan otak yang menjadi pelakunya? Tentu tidak. Semua tergantung bagaimana kita menetralkan dengan menggali potensi sejati diri kita yang lebih bekerja. Dimana potensi diri kita yang pasti bersifat netral. Tidak akan menilai sesuatu dengan label baik atau buruk.

Untuk memulihkan potensi diri kita kembali bekerja, mau tidak mau kita perlu mengendalikan ego, agar tidak menjadi bos yang sok mengatur terus-menerus. Waktunya kembali menjadi bos yang duduk manis.

Dalam hal ini, perlu sebuah afirmasi atau penguatan 'saya tidak akan menilai apapun yang terjadi hari ini'. Setiap ada kemunculan untuk menilai pada saat itu juga kita sangkal. Pada waktunya potensi sejati diri mulai bekerja.

Tentu tidak ada yang mudah dalam hal ini dan kalau tidak mau dikatakan ini adalah usaha yang maha sulit. Perlu perjuangan ekstra. Sebab si bos tentu tidak ingin perannya digantikan yang sudah nyaman dengan posisinya saat ini.

Revolusi Diri

Terlepas kita akan berhasil atau tidak kelak dalam meruntuhkan tembok keegoan yang masih kokoh, yang terpenting adalah bangkitnya sebuah kesadaran untuk melakukan perlawanan dan  revolusi diri atau hidup kita selalu dibawah penjajah kekuasaan sang ego. Sebab ini menyangkut perjalanan sejarah kehidupan kita.

Sejatinya hidup dikuasai oleh ego akan membuat ketidak-nyamanan. Sebab potensi sejati diri kita tidak bekerja dengan semestinya.

Lalu bagaimana dengan kita yang nyaman-nyaman saja yang sepenjang waktu hidup dalam penguasaan ego? Nyaman cuma kelihatannya. Damai hanya di permukaan belaka. Kenyataannya tidak demikian. Sebab hidup yang dikuasai ego membuat kita menderita secara jiwa. Tidak ada kedamaian batin dan jiwa yang hening. Stress akhirnya.

Tetapi ketika potensi sejati diri yang menjadi nahkoda kehidupan, maka keheningan dan damai yang sejati akan ditemui. Langkah awalnya ada menyadari akan keberadaan potensi sejati diri yang selama ini tersembunyi dan membebaskan diri dari penjajahan sang ego.

@refleksihatidipagihari

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun