Kisah pilu para TKI yang menjadi pembantu di luar negeri di Timur-Tengah, Malaysia, Singapura, dan Hong Kong sudah bukan cerita baru lagi.
Cerita tentang penderitaan dan penyiksaan oleh para majikan begitu kerap kita dengar. Banyak yang dalam keadaan cacat dipulangkan.
Sudah kehilangan harga diri diperlakukan semena-mena oleh majikan. Bisa pula kehilangan nyawa karena dihukum mati.
Sungguh menyedihkan nasib para pahlawan devisa ini. Boro-boro penghargaan disematkan. Nasibnya yang tersiksa di negeri orang seakan sulit diselamatkan.
Ada yang tersandung kasus pembunuhan dan menunggu dihukum mati. Melihat realita ini sungguh tidak adil.
Kita tidak berusaha mengerti. Mengapa mereka sampai nekad membunuh majikannya. Keadilan yang selama ini tidak ditegakkan.
Para majikan bisa memperlakukan seenaknya para pembantu. Dipukul, disetrika, dan diperkosa. Tapi mereka bisa bebas-bebas saja. Bahkan bisa balik memfitnah pembantunya yang tak berdaya.
Akibat akumulasi perlakuan para majikan kepada para pembantu layaknya budak membuat mereka stres. Tidak heran banyak yang melarikan diri rela untuk melacurkan diri demi mempertahankan hidup.
Yang tidak bisa kabur, ada yang sampai nekat membunuh majikannya. Karena sudah tidak kuat menahan beban. Resikonya hukuman mati menunggu.
Apa yang bisa dilakukan negara yang mengijinkan mereka pergi ke negeri orang mencari nafkah?
Setengah hati. Sebab mereka cuma dianggap pembantu! Jadi omong kosong soal gelar Pahlawan Devisa itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H