Mohon tunggu...
Katedrarajawen
Katedrarajawen Mohon Tunggu... Penulis - Anak Kehidupan

Merindukan Pencerahan Hidup Melalui Dalam Keheningan Menulis. ________________________ Saat berkarya, kau adalah seruling yang melalui hatinya bisikan waktu terjelma menjadi musik ... dan berkarya dengan cinta kasih: apakah itu? Itu adalah menenun kain dengan benang yang berasal dari hatimu, bahkan seperti buah hatimu yang akan memakai kain itu [Kahlil Gibran, Sang Nabi]

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Orang yang Mengerti Tidak Pernah Merasa Dihina

20 November 2012   08:58 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:01 2427
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Manusia mulia atau hina tergantung dari pembinaan hatinya. Hati yang terbina atau tidak akan tampak dalam perilaku dan tutur katanya.

Manusia yang hatinya terlatih akan tampak tenang dan lembut. Tidak mudah terpancing emosi. Dihina atau dicaci-maki, ia tak akan meladeni.

Ia tidak peduli lagi dengan yang namanya harga diri. Karena baginya yang lebih berharga adalah mengikuti nurani.

Tidak dihormati dan dicaci-maki tak akan melukai hatinya. Ia tidak peduli manusia menilainya seperti apa. Karena baginya yang utama nilainya di hadapan Yang Esa.

Inilah ia yang telah mengerti. Mengerti akan sejati dirinya. Jiwanya berkembang seluas semesta, sedalam samudra.
Kata-katanya bijak dan sudah menjadi karakter hidupnya. Tiada kepura-puraan.
Sementara ia yang masih bicara tentang harga diri. Akan selalu merasa memerlukan penghormatan dari orang lain. Mudah emosi dan sakit hati.

Ia tidak sudi dihina dan dicaci maki. Demi harga diri ia akan melakukan perlawanan dan pembalasan.

Tanpa disadari kebenciannya berkembang. Tetapi masih dengan besar kepala membela dirinya demi kebenaran.
Ia masih saja selalu merasa yang paling benar. Walau kesalahannya sudah tampak di permukaan.

Bila seperti ini, maka sulit baginya untuk mencapai kedewasaan rohani.

Ia bisa berkata-kata bijak, tapi hanya sebatas kata-kata. Untuk menjadi orang bijak, masih menjadi pertanyaan.
Karakternya tetaplah masih awam.

Sahabat...
Begitulah sedikit bedanya manusia yang mengerti dan awam. Bijak atau atau picik.

Senyum sumringah Sang Guru membuat wajahku kecut dan hati panas. Dalam hati aku berteriak,"Dasar apes! Soalnya kata-kata itu pasti ditujukan untuk diriku."

"Dasar manusia tak tahu diuntung!" _suara dari mana itu?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun