Angin sepoi-sepoi melintas di bawah pohon ceri. Orang-orang berlalu-lalang. Karena hari itu sedang banyak yang melamar pekerjaan.
Duduk sambil memperhatikan suasana keramaian. Lumayan untuk menghalau kesuntukan.
Ada seorang pelamar melintas. Seorang rekan memperhatikan dan berujar,"Lihat aja pakaiannya. Pakai dan sendal. Kalau yang lain udah pada disuruh pulang."
"Kalau yang ini kenapa?" saya penasaran.
"Katanya sih titipan anggota dewan. Anaknya. Pantas tadi saya tegor ketawa-ketawa aja," rekan ini menjelaskan.
Maksudnya anggota DPRD. Tapi saya ragu, kalau anak anggota dewan mau melamar jadi buruh pabrik.
"Masa' sih anak anggota dewan? Kalau memang iya, seharusnya jadi contoh dong penampilannya. Bukanlah malah semaunya."
"Iya nih. Yang lain diusir-usir. Ini malah dikasih masuk," tutur rekan ini sewot.
Ternyata memang tidak di mana. Keadilan atau ketegasan itu hanya berlaku untuk orang kecil yang tidak punya kekuasaan.
Aturan dan disiplin dengan ketat akan diterapkan bagi mereka yang tidak punya kekuatan untuk melawan.
Sementara bagi yang merasa punya atau dekat dengan kekuasaan akan mentang-mentang. Karena mereka menganggap aturan itu tidak berlaku baginya.
Inilah realita di masyarakat kita. Bahwa semua orang sama rata dihadapan hukum atau aturan itu hanyalah omong kosong.
Bukan omong kosong lagi kalau hukum itu di sini hanya tajam ke bawah, tapi tumpul ke atas. Aturan itu longgar untuk yang punya kuasa dan tegas untuk yang lemah.
Karena yang punya kedudukan dan kekuasaan selalu ingin diistimewakan.
Mereka akan mentang-mentang dan arogan.
Sementara para penegak hukum atau aturan takut untuk tidak mengistimewakan mereka. Mendengar pejabat ini-itu sudah ketakutan. Ada rasa segan. Beraninya sama yang lemah.
Bagaimana dengan kita?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H