Sebenarnya dan sejujurnya saya kurang bernafsu menulis tentang seorang Kompasianer. Untungnya tidak ada, rugi sih iya. Jempol jadi bentol-bentol. Plus rugi amat yang ditulis jadi terkenal.
Jadi, saudara-saudara. Saya terpaksa mau menulis tentang sosok Dewa Gilang. Karena terjadi ketidakjelasan dan kelinglungan di antara para kompasianer.
Saya jadi terheran-heran. Anak masih ingusan kok dibikin repot? Terkait pengakuannya mau SMP atau profesor. Ya, suka-sukanya dialah. Apalagi ini di dunia maya.
Kan tidak dilarang berbohong toh? Buktinya banyak akun dengan nama palsu dan foto profil palsu tidak diharamkan kok.
Apalagi di dunia nyata. Banyak orang yang mengaku beragama dan ber-Tuhan. Tetapi ketika tidak menunaikan kewajiban dan tidak mengikuti perintah Tuhan. Toh tidak ada yang usik. Aman dan tenteram.
Para pejabat dan aparat negara dimana ketika menjabat melakukan ritual sumpah jabatan. Banyak yang melanggar. Apakah kita peduli?
Belum lagi para pemuka-pemuka agama yang sibuk memperkaya diri. Berceramah atau berdakwah mengejar materi. Apakah kita merasa ditipu? Malah tidak jarang kita memaklumi. Namanya juga manusia.
Ketika ada yang menuntut orang lain untuk jujur. Siapa sangka justru dirinya yang tidak jujur.
Begitulah di Kompasiana. Ketika ada yang dianggap tidak jujur. Bisa-bisa akan segera dikuliti dan dibikin sate.
Dewa Gilang ngakunya baru 15 tahun. Tetapi banyak yang curiga. Karena terlalu pintar untuk anak seusianya.
Ah, rupanya kita pada lupa! Bukankah Gilang itu adalah Dewa? Namanya jelas tertulis: Dewa Gilang. Bukan Gilang Ramadhan.