Sungguh malang nasib Ismi yang harus menghabiskan sebagian masa mudahnya di penjara. Semua ini akibat pergaulan bebas dengan teman-temannya yang suka mengkonsumsi obat terlarang.
Suatu hari saat diminta untuk mengambil barang ke sebuah diskotik, Isti tertangkap karena sedang diadakan razia oleh petugas.
Ismi hanya bisa meratapi nasibnya dengan barang bukti di tangan sedangkan teman-temannya lepas tangan.
Di negeri ini, hukum untuk rakyat yang tidak mampu sungguh adil. Tajam ke bawah tumpul ke atas. Ismi yang tidak mampu membayar pengacara handal untuk membelanya hanya disediakan pengacara seadanya.
Proses persidangan begitu cepat dan hukuman lima tahun dijatuhkan dan Ismi harus pasrah menerimanya.
Di penjara khusus untuk kasus narkoba inilah kisah pilu hidup Ismi dimulai. Ismi yang wajah biasa namun berpenampilan cukup gaya, memiliki tubuh montok yang mengundang selera. Bayangkan ruang penjara yang berukuran tak seberapa yang normal untuk di tempati 5 orang saja itu diisi sebanyak 15 napi. Penuh sesak dan menyiksa. Entah bagaimana caranya untuk membaringkan saat tidur?
Para napi benar-benar hanya dianggap sampah saja bila melihat perlakuan yang mereka dapatkan di penjara.
Jangan bayangkan lagi, bagaimana rasa makanan yang disediakan di penjara ini yang seadanya saja.
Bagi napi yang mampu, maka akan mengeluarkan biaya lebih untuk membayar fasilitas untuk ruang dan makanan yang lebih nyaman.
Namun Ismi adalah dari keluarga tidak mampu. Orangtuanya hanyalah petani miskin di kampung. Bahkan selama sidang sampai masuk penjara keluarganya tidak ada yang mau tahu. Karena Ismi ke Jakarta pun tanpa sepengetahuan keluarga sebelumnya.
Tak ada uang bukan masalah, karena masih ada cara untuk menikmati fasilitas yang cukup. Para petugas di penjara menawari Ismi untuk menikmati fasilitas ruang penjara dan makan yang lebih manusiawi dengan menukarkan tubuhnya.