*Sambil memegang sekeping koin aku duduk santai di bangku di sebuah cafe yang terletak di seberang lampu merah jalan yang semakin ramai. Aku menunggu seseorang yang juga memiliki koin yang sama dengan yang aku miliki.
Aku membalik-balik kepingan koin serasa melayangkan ingatanku tentang
orang yang ku tunggu ini, tentang kebersamaan, tentang persahabatan dan juga tentang pengalaman bersama.
Tapi hingga detik ini aku masih belum mendapati wajah yang aku rindukan itu, kemanakah wajah itu berada sekarang?
Segera ku seruput kopi yang telah dihidangkan pelayan dalam dudukku yang tak menentu.
Kopi cappucinno hangat yang menjadi kegemaranku segera memberikan kesegaran ingatan.
Kesadaran mulai datang. Aku mulai mengingat-ingat akan sebenarnya siapa diriku ini.
Mengapa aku harus menanti dan menunggu seseorang yang sebenarnya tiada itu.
Apa aku kurang waras atau hilang ingatan?
Aku sadar, ternyata diriku yang saat ini sudah jauh berubah. Aku begitu cepat emosi, arogan, keras kepala, mau menang sendiri, cuek, dan segala tabiat buruk melekat.
Aku sadar kini, ternyata aku sesungguhnya begitu rindu akan sosokku yang dulu. Seorang lelaki yang penuh wibawa, sopan, lembut, penuh cinta, dan persahabatan.
Tetapi ketika kehidupan berubah, kedudukan, kekayaan, dan kekuasaan telah menjerumuskan diri kepada kehidupan yang harus membuatku kehilangan perasaan dan tak mengenal teman. Bahkan seakan tak mengenal diriku lagi.
Aku harus berlaku kejam demi untuk mendapatkan kesuksesan. Segala cara harus kulakukan, karena memang itu tuntutan.
Tetapi kehidupan yang harus kulakoni semakin menjauhkan diriku dari diriku yang sesungguhnya.
Apakah aku terpaksa atau dipaksa? Pembenaran dan logika kepintaran selalu menjadi pembelaku yang sejati. Bahwa aku harus melakukan dan itu adalah sesuatu yang wajar pada jaman sekarang. Toh orang lain juga melakukan hal yang sama. Tentu saja aku tidak bersama melakukannya.
Aku harus kehilangan kejujuranku, yang sebelumnya menjadi sifatku. Kebohongan demi kebohongan harus kulakukan demi mempertahankan kedudukan dan ambisiku.
Kelembutan yang menghiasi setiap relung hatiku, kini menjadi keras karena aku tidak boleh terlena dengan kelembutan untuk menghadapi lawan-lawanku yang ganas.
Di cafe yang masih sunyi menjelang sore ini, kesadaran telah kembali. Aku rindu untuk menjadi diriku yang sesungguhnya. Diam-diam aku menangisi diriku yang kini, dan aku ingin segera membunuhnya, setelah aku menghabiskan tegukan terakhir cappucinno yang masih terasa hangat!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H