Anas tak bergeming walau ia dituduh telah mencuri dengan bukti-bukti yang ada, karena memang ia merasa tidak melakukan apa yang dituduhkan. Anas selama ini memang dikenal sebagai murid yang pendiam dan suka menyendiri di kelas.
Ada rasa minder pada dirinya, karena ia berasal dari keluarga tak punya. Bersama kedua orangtuanya ia hanya tinggal di rumah yang sederhana.
Anas tetap berkeras tidak mengakui bahwa ia telah mencuri.
"Anas tidak bersalah, Bu!" Teriak bocah itu lantang di hadapan ibu gurunya yang menanyainya di ruang guru.
Anas diadukan teman sekelasnya mencuri uang miliknya di tas.
Hari itu Anas tidak seperti biasanya, dimana ia banyak jajan dan mentraktir teman-temannya. Kebetulan hari itu ada temannya yang kehilangan uang dan temannya yakin bahwa Anaslah yang telah mengambil uang miliknya sebesar lima puluh ribu.
Diketahui juga dari penjualan makanan di kantin Anas sewaktu jajan menggunakan uang yang bernominal lima puluh ribu.
"Anas, mengakulah atau kamu akan dikeluarkan dari sekolah ini!" Desak Bu Guru.
"Bu, tapi Anas benar-benar tidak mengambil uang si Ani! Walaupun saya orang susah, Bapak selalu berpesan agar Anas tidak boleh mencuri! Anak boleh miskin tapi tidak mau menyusahkan orang lain." Anas tetap berkeras dan merasa benar.
"Lalu, uang kamu itu dari mana, sehingga bisa mentraktir teman-temanmu?" Selidik Bu Guru yang mulai tidak sabar.
Anas terdiam dan entah apa yang sedang ia pikirkan. Bocah yang baru duduk di kelas 2 berumur 10 tahun itu seperti menyimpan sesuatu hal yang tidak ingin ia ungkapkan tentang asal usul uangnya.
Karena ia memang merasa tidak mencuri.
"Anas .........." Belum sempat Bu Guru melanjutkan ada yang mengetuk dari luar.
Saat itu, Ani yang uangnya hilang, masuk bersama seorang guru ke ruang di mana Anas diinterogasi untuk mengabarkan, bahwa uang miliknya ternyata tidak hilang. Tapi terselip di dalam bukunya.