Mohon tunggu...
Katedrarajawen
Katedrarajawen Mohon Tunggu... Penulis - Anak Kehidupan

Merindukan Pencerahan Hidup Melalui Dalam Keheningan Menulis. ________________________ Saat berkarya, kau adalah seruling yang melalui hatinya bisikan waktu terjelma menjadi musik ... dan berkarya dengan cinta kasih: apakah itu? Itu adalah menenun kain dengan benang yang berasal dari hatimu, bahkan seperti buah hatimu yang akan memakai kain itu [Kahlil Gibran, Sang Nabi]

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Satu Cinta Dua Agama [10]

1 April 2011   01:44 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:14 348
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13016226141208711416

[caption id="attachment_99398" align="alignleft" width="414" caption="GettyImages"][/caption]

Saat Tri terbangun, di hatinya penuh tanya. Melihat raut wajah Li yang walaupun berusaha tersenyum, Tri menangkap ada gelagat yang tidak baik terjadi.

Namun karena malam sudah larut, Li meminta Tri untuk beristirahat terlebih dahulu dan membicarakan masalahnya keesokan harinya.

Malam itu, di kamarnya masing-masing Li dan Tri tak dapat memejamkan matanya. Li berusaha menenangkan hatinya menarik nafas dalam-dalam dan kemudian bermeditasi ditemani alunan irama simponi alam.

Runtuh sudah keyakinannya untuk dapat bersatu dengan belahan jiwanya. Sirna sudah harapan indahnya untuk bersanding dengaN kekasih hatinya di pelaminan. Hancur sudah keinginannya untuk membina mahligai rumah tangga yang bahagia.

Inilah kenyataannya dan Li merasa tak ada jalan lagi bagi mereka untuk meneruskan hubungan percintaan. Li adalah sosok lelaki yang tidak pernah memaksakan keinginannya dan ia juga tidak ingin Tri membantah keputusan orangtuanya.

Salah atau benar, merekalah yang telah berjasa melahirkan dan mendidiknya. Li tidak ingin Tri menjadi Malin Kundang pada jaman modern melawan orangtuanya, sehingga ia menjadi anak yang durhaka.

Sebenarnya ada terbersit seberkas keinginan mengalah demi keutuhan cinta mereka untuk hidup bersama dengan mengikuti keyakinan Tri, sehingga mereka segera bisa menikah. Tetapi Li segera menepisnya. Ia tidak ingin keimanannya ditukar hanya demi sebuah cinta.

Duduk dalam kamar yang sunyi dan suasana hati yang mulai pulih, Li ingin menumpahkan segala isi hatinya dengan menulis. Dibukanya notebook yang selalu ia bawa kemana saja.

Hari ini, tahu-tahu aku dilahirkan Begitu pula dirinya disana Tak kuasa aku dapat memilih dilahirkan sebagai apa, dimana, dan bagaimana Sama halnya dengan dia

Tetapi di hari yang lain Aku dan dia dipertemukan Tahu-tahu kami saling jatuh cinta Sebagai anak manusia dalam cinta yang sama Warna dan rasa

Namun..... Bukan keinginanku dan pasti juga bukan keinginannya Aku dan dia tidak sama dalam suku dan agama Dan kami tidak diperkenankan untuk bersatu Atas dalil-dahil agama Atas kebenaran yang katanya mutlak

Tetapi Bicara cinta Mengapa kami harus jatuh cinta sejak pandangan pertama? Bila itu salah Siapakah yang harus disalahkan?

Apakah tidak boleh aku menyalahkan Tuhan yang menciptakan lalu mempertemukan kami untuk saling jatuh cinta?

Namun sejenak dalam hening Aku belajar untuk memahami Hidup adalah perjalanan menelusuri takdir kehidupan yang telah diciptakan sebelumnya

Bila aku dan dia bertemu adalah memang jodohnya Demikian pula bila aku dan dia harus berpisah Biarlah aku memaknai bahwa jodoh ini hanya untuk saling mencintai Dan bukan untuk bersatu

Biarlah aku belajar untuk membuang keegoan hati Belajar untuk tidak terjebak dalam kebodohan dan kemelekatan cinta Yang sesungguhnya palsu Yang menjadi sumber penderitaan hidup yang tak bertepi

Li seakan menemukan kesadarannya atas masalah yang sedang dihadapi. Kata demi kata demikian mengalir saja menjadi kalimat yang seakan bukan berasal dari pemikirannya.

*** Sementara di kamarnya Tri menatap ke langit-langit malam. Kegelisahan yang ditangkapnya di wajah Li barusan membuatnya tak tenang. Ingin membahas malam ini juga apa yang terjadi. Tri mengumpat pada dirinya mengapa tadi tidak bisa menahan kantuknya. Hingga ia tertidur dan ketinggalan hasil akhir pembicaraan mereka. Tri bangkit dari tempat tidurnya. Ia ingin menenangkan hati dan pikirannya. Tri melakukan shalat malam dengan sangat khusyuk. Berserah pada Tuhan yang telah menentukan takdir hidupnya. Tri meminta pada Tuhan sebanyak-banyaknya, berulang-ulang samapai airmata bersimbah di kedua belah pipinya. Tri menutup sholat malamnya dengan witir 3 rakaat.

Azan subuh menjelang, Tri tak sadar telah bermunajat sebegitu lama. Ia langsung menunaikan shalat subuh dan melanjutkan doa-doanya. Tak terasa pagi hampir menjelang. Terdengar dengan jelas kokok ayam saling bersahutan. Tri berjalan menuju dapur, menyiapkan minum pagi dan sarapan untuk keluarganya. Seperti biasa Papa dan Mama masih sibuk dengan membaca Al Qur'an di subuh itu.

* Tri menunggu Li keluar dari kamarnya, entahlah apakah semalam Li bisa tidur atau sama seperti dirinya mengadu pada Tuhan tentang nasib cintanya.

Akhirnya yang ditunggu-tunggu muncul juga, Li masih tampak lusuh. Terlihat lelah dan mata masih agak memerah. Tri menatap dengan mata penuh harap, tetapi Li minta diri untuk mandi terlebih dahulu. Tak tega Li menatap wajah Tri yang begitu sendu.

* Mendengar apa yang disampaikan kedua orangtuanya tentang keputusan mereka, airmatanya tak kuasa ditahan lagi. Hatinya hancur dan perasaannya menjadi kalut. Mengapa dan mengapa, tiada habis Tri bertanya.

Untuk meyakinkan Tri segera bertanya pada Li.

"Iya, Tri, Mama dan Papamu tetap tidak mengijinkan kita untuk menikah. Alasan utamanya seperti dari awal adalah keyakinan kita yang berbeda!" Li menatap Tri yang duduk terkulai tanpa daya. Ingin rasanya ia segera memeluk Tri erat-erat untuk memberikan kekuatan.

"Tri, sayapun sebenarnya sangat sedih dan tidak bisa menerima kenyataan ini. Tapi, memang inilah kenyataan yang mau tidak mau harus kita hadapi. Seperti halnya kematian. Mungkin ini adalah takdir hidup yang memang harus kita terima dengan kerelaan hati!"

"Jadi Koko sudah pasrah menerima keputusan ini? Mengapa, Ko, ini harus menimpa kita? Kalau memang akhirnya harus berpisah dengan menyakitkan seperti ini, mengapa kita harus saling jatuh cinta pada awalnya?" Tanya Tri dalam linangan airmatanya.

"Bukankah Koko selama ini yang selalu memberikan kekuatan dan harapan akan kelanjutan hubungan cinta kita?!"

"Adiak sayang, sabar ya, anggap saja ini adalah kehendak Tuhan dan kita hanya bisa pasrah untuk menerima kenyataan ini. Kita harus kuat dan hidup tidak boleh berhenti sampai disini. Kebahagiaan masih bisa kita temukan dengan cara yang lain, selain melalui pernikahan kita. Tri, sejujurnya saya tak akan mungkin bisa melupakan kamu!" Tanpa sadar, airmata Li mulai berjatuhan membasahi pipinya.

"Ko, Koko. . . . Rasanya aku tak percaya kita harus berpisah dan tak dapat bersatu untuk selamanya. Mengapa hidup ini tidak adil untuk kita, Ko?" Tri hanya berkata pelan dalam isak tangisnya yang penuh kepedihan.

"Adiak, percayalah, pasti ada hari esok yang lebih baik untuk hidup kita, walaupun cinta kita yang tulus tidak dapat dipersatukan oleh agama kita yang berbeda." Itulah kata-kata Li yang terakhir kali pada kesempatan sebelum ia terbang kembali ke Jakarta.

Kota kecil Batusangkar yang tadinya begitu indah dan sejuk seketika menjadi gersang bagi Li. Hari itu yang harus pergi membawa duka yang mendalam. Ia harus tegar untuk melangkah karena hidup memang harus terus berlanjut!

Ketika sudah sampai di Bandara Internasional Minangkabau dan hendak chek in menuju Jakarta, terdengar suara yang sangat khusus di telinganya memanggil dari kejauhan, "Liiiii. . .!!!"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun