Sebagai orangtua, kerapkali kita menghakimi atau mengutuki anak-anak kita sebagai anak bodoh, dalam arti pribadinya, bukan pada kesalahan atau perbuatannya. Dengan demikian pada akhirnya mereka benar-benar akan membuktikan dirinya sebagaimana yang telah kita cap pada mereka!
[caption id="attachment_97551" align="alignleft" width="355" caption="GettyImages"][/caption] * Sebagai orangtua, diantara kita banyak yang salah mendidik anak, sehingga justru kita sebagai orangtua menjerumuskan mereka dalam kesalahan.
Ketika anak-anak kita melakukan kesalahan, tanpa sadar dan marah mengeluarkan kata-kata yang seharusnya kita keluarkan. Sebab kata-kata itu akan sangat membekas di dalam memori alam sadar mereka.
Diantara kita mungkin tanpa sadar dan terbawa emosi mengeluarkan kata-kata kutukan kepada anak-anak kita: Dasar anak bodoh, anak tidak berguna, anak pemalas, anak nakal, atau anak susah diatur.
Bahkan kata-kata yang lebih seram: Anak monyet, anak setan, anak bajingan atau anak tak tahu diri.
Ketika dalam keheningan kita memahami kata-kata tersebut kembali, maka pasti kita akan menyadari sebuah kesalahan. Kata-kata yang tidak selayaknya kita ucapkan.
Tetapi karena terlanjur, maka kata-kata itu telah meracuni pemikiran mereka, anak-anak kita, dan pada waktunya mereka akan dengan suka rela membuktikan julukan yang telah kita stempelkan.
Pada akhirnya mungkin kita masih belum sadar, bahwa anak-anak kita menjadi bodoh, nakal, bajingan, dan malas adalah karena ulah kita sebagai orangtua.
Namun masih dengan angkuh kita terus menyalahkan mereka sebagai anak bodoh, nakal, tak tahu diri, dan bajingan.
Kata-kata memang memiliki kesaktian yang dahsyat pengaruhnya ke dalam alam bawah sadar kita. Khususnya anak-anakmu yang memorinya masih begitu mudah menyimpan apa yang mereka terima.
Kata-kata yang baik dan yang buruk akan selalu tersimpan dengan baik oleh anak-anak kita.
Kita seringkali salah menghakimi anak kita sendiri ketika mereka berbuat salah. Dalam arti mempersalahkan individunya bukan perbuatannya.
Ketika seorang anak melakukan kesalahan, biasanya karena emosi spontan kita akan berkata,"Dasar anak bodoh!"
Mungkin anak-anak kita akan diam, tetapi dalam diam, diam-diam ia membatin,"Kata orangtuaku aku anak bodoh. Ya, aku memang anak bodoh!"
Berbeda, ketika anak kita melakukan kesalahan dan kita berkata,"Nak, itu perbuatan bodoh!"
Dalam hal ini, bukan si anak yang bodoh, tetapi perbuatannya yang salah atau bodoh. Dengan demikian, si anak kemungkinan besar akan berpikir lain kali ia tidak akan melakukan hal yang sama.
Sebenarnya saya juga berpikir, bahwa saya ini bukanlah orang yang bodoh, tetapi seringkali melakukan kebodohan. Contohnya menuliskan hal ini, karena sebagai orangtua, saya kerapkali melakukan kebodohan dalam mendidik anak.
"Maafkan, papi, ya, Nak?!"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H