Sadar dan sesat selalu muncul didalam diriku, peperangan batin selalu terjadi untuk menentukan karakter siapa diriku. Penerangan hati adalah awal pencapaian menuju keabadian.
*
Saat di tempat pembaringan yang sederhana, tanpa ada alas kasur yang empuk, aku tiba-tiba menertawakan diriku. Selama ini selalu terjadi, tatkala kesadaran muncul, tak lama kemudian kesesatan kembali hadir.
Keinginan yang ada saja belum cukup untuk membuat aku tersadarkan dalam kebaikan nurani. Seringkali aku harus mengalami kekalahan demi kekalahan dalam hal ini.
Selama hidupku, entah sudah berapa kali aku bertobat, tetapi sebanyak itu pula aku terjatuh kembali dalam kesalahan. Betapa bodohnya bukan?
Keinginan untuk segera terlelap tertunda oleh keadaan hati. Aku termenung membisu. Duduk di tepian pembaringan. Memandangi langit-langit kamar.
Kebaikan dan kesadaran memang bisa aku miliki, tetapi begitu cepat pula pergi. Pencarian hidupku untuk membangkitkan nurani entah sudah melalui berapa guru. Tetapi kesadaran yang kutunggu masih selalu terbelenggu.
Saat ini, pada Sang Guru aku meletakan hati untuk menimba ilmu. Aku bisa merasakan energi kesejatian yang ada pada dirinya.
Aku tidak boleh menemui kegagalan lagi, untuk mencerahkan hatiku dengan sungguh-sungguh. Sampai pada aku tidak tergoyahkan lagi dalam peperangan antara kebenaran dan kesesatan. Antara kebaikan dan kejahatan.
Perjalanan membina hati memang sepanjang waktu. Menemukan setitik kesadaran hanya pada waktu tertentu. Pada saat itu, nurani terbuka untuk mengerti hakekat kehidupan. mengerti akan siapa diri yang sesungguhnya. Hanya Sang Guru yang dapat memberikan petunjuknya.
Aku menemukannya pada saat pertama kali bertemu Sang Guru yang memberikan penerangan dalam cahaya kebenaran.
Satu titik kebenaran sejati yang menembusi ke surgawi adalah awal langkah menuju kepada keabadian.
Aku telah menemukan sejatinya diriku!
Namun itu barulah awal untuk mencapai kesadaran tertinggi, begitu pesan Sang Guru ketika itu.
"Setiap manusia pada awalnya adalah sadar, tetapi seiring perjalanan kehidupan kesadaran itu memudar. Ibarat cermin yang terang, ia tertutup debu-debu, sehingga terangnya tak tampak lagi. Begitulah nurani yang ada pada setiap manusia."
Aku mengingat apa yang dikatakan Sang Guru ketika awal bertemu.
"Oleh sebab itu, manusia perlu mengalami dua kelahiran. Yang pertama kelahiran dalam bentuk fisik dari rahim seorang ibu. Yang kedua ada kelahiran rohani dari rahim nurani.
Ketika terlahir dari rahim ibu, itulah awal pertumbuhan sebuah tubuh. Begitu juga dengan kelahiran rohani.
Tetapi tubuh jasmani adalah diri yang palsu. Tubuh rohani itulah yang sejati. Saat yang berbahagia ini, aku tunjukkan keberadaannya padamu!"
Mendengar apa yang diwejangkan Sang Guru dan belalaiannya yang lembut seketika menyadarkan aku.
"Oh, demikiankah guru?"
Mengingat itu, aku membaringkan tubuhku dalam senyuman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H