Waktu kematian, bukanlah waktu yang tepat untuk menyesali segala kesalahan . . .
*
Pemuda itu, memandangi mayat dijalanan yang hanya ditutupi koran.
Seakan ia mengenalinya, ia memandangi tak lepas-lepas.
Tapi ia yakin itu bukan dirinya.
Kemudian ia bergumam:
Kasihan sekali pemuda itu, harus mati muda akibat kebut-kebutan.
Bodoh sekali, nyawa melayang dengan sia-sia.
Tiba-tiba muncul disampingnya seorang kawan, dengan setengah berbisik berkata :
Hey, kamu yang bodoh! Mayat yang terbujur kaku itu adalah dirimu.
Perhatikan baik-baik!
Kamu telah mati, kawanku!
Pemuda itu tak percaya penuh tanya :
Apa?
Aku telah mati?
Benarkah aku telah mati?
Tidak mungkin!
Sang kawan menyakinkan :
Kawan, terimalah nasibmu dan kematianmu. Ini kenyataan!
Ia mengerang : Tapi aku tak ingin mati. Aku belum mau mati!
Dengan nada penyesalan :
Dalam hidup aku masih belum melakukan yang berarti. Lebih banyak waktu yang aku isi dengan sia-sia.
Masih banyak menyimpan salah dan kedurhakaan.
Sang kawan mengingatkan :
Menyesalpun sudah tiada guna. Seperti diriku juga yang karena gelap mata mati gantung diri diatas pohon itu! Hari ini, kaupun harus mati menabraknya.
Sekarang kita jadi setan gentayangan penunggu pohon ini, kawan!
Melihat tubuhnya diangkat kedalam ambulan, pemuda itu hanya bisa menangis tanpa bisa berbuat apa-apa lagi?
Apakah ini nasib atau takdir?
Ya,? Nasib dan takdir yang diciptakan oleh diri sendiri!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H