Ketika pujian datang, maka si aku akan dengan bangga menepuk dada dan berkata,"Aku memang hebat!" atau "Siapa dulu dong? Aku!"
Atas segala prestasi bila aku yang berkuasa, maka muncullah kesombongan merasa diri yang paling hebat. Atas segala kebaikan si aku tak sungkan untuk mengakui semua itu sebagai pencapaiannya. Itulah kalau si aku yang menjadi penguasa
Namun bila aku sejati yang menjadi raja, maka akan menganggap semua kebaikan dan prestasi semata adalah berkat Kuasa Tuhan. Tidak mengakui semua pencapaian sebagai kehebatan diri sendiri.
Aku adalah Sumber Pertikaian
Mengapa ada perselisihan antar teman, saudara atau dengan sesama? Sebab yang di kedepankan adalah aku kita masing - masing.
Bisa kita saksikan betapa banyaknya pertikaian yang terjadi di dunia, baik dalam skala kecil antar teman maupun skala besar perang antar kampung atau antar negara yang menjadi penyebab adalah besarnya si aku pada masing - masing pihak. Ibarat api bertemu bensin, maka suasana yang tercipta semakin memanas.
Ketika aku yang berbicara, maka akan merasa diri yang paling benar. Gengsi untuk mengalah, sehingga yang ada saling menyalahkan. Timbullah pertikaian yang bisa berefek saling diam atau saling serang.
Bila terjadi masalah kepala dingin dan hati yang damai menjadi pedoman, maka masalah dapat diselesaikan dengan baik. Sebaliknya bila aku yang menjadi pijakan, yang ada adalah saling merasa benar dan tak ada yang mau mengalah. Ujung - ujungnya akan saling bertikai demi untuk memuaskan nafsu si aku.
Betapa kita enggan melepaskan aku untuk menjadi penguasa hidup kita, sebab si aku pun mengklaim apa yang dilakukannya sebagai 'kebenaran hakiki' yang harus dipertahankan sampai darah penghabisan. Si aku akan mati - matian membela harga diri karena dihina, alih - alih memaafkan si aku tak segan membela orang yang menghinanya atas nama kebenaran. Bisa menuntas dendam akan memuaskan si aku dan itulah kebenaran versi si aku.
Refleksi :
Ajaran Kebenaran mengajarkan kepada kita untuk membina diri dengan mengikis ke - aku - an di dalam diri kita menjadi seminimal mungkin dan membangkitkan aku yang sejati atau Nurani. Ketika aku yang sejati menjadi tuan rumah, maka tidak lagi dikuasai oleh keinginan, puja - puji, tanpa pamrih, tidak merasa paling baik dan hebat.