Hari rabu tanggal 14 Maret 2018 yang lalu, saya berkesempatan mengunjungi desa Kanekes, Baduy, Lebak - Banten. Tepat pukul 06.30 WIB, bus membawa kami menuju perkampungan suku baduy yang berjarak tempuh selama 5,5 jam perjalanan dari Jakarta Selatan. Selepas kota Lebak, jalanan semakin menyempit dan kondisi jalan yang kurang baik.
Aspal yang mulai mengelupas serta kontur tanah pegunungan membuat bus yang kami tumpangi harus berjalan pelan. Hutan sekunder mengelilingi sisi kanan dan kiri jalan, sehingga membuat kami terhibur dengan pemandangan yang cantik. Akhirnya tibalah kami diterminal Ciboleger yang merupakan titik temu menuju keperkampungan suku Baduy.Â
Patung selamat datang menyambut kami, tidak jauh ada tangga berundak yang harus kami lalui menuju keperkampungan baduy luar. Kami disambut oleh Dinas Pariwisata Provinsi Banten dan Jero Baduy Luar, rumah-rumah panggung sederhana berdinding anyaman bambu menyambut kami. Bau kayu bakar yang harum menyeruak disela-sela perkampungan adat.
Setelah diterima oleh para tetua adat, kami dipersilahkan menuju ke gazebo. Tujuan kedatangan kami yaitu untuk melakukan kerja bakti bersih Baduy yang dimotori oleh Ibu Helen dari NES Peduli.Â
Mereka lebih suka disebut sebagai Urang Kanekes, dan adat mereka melarang pendidikan formal didalam desa tersebut. Ciri-ciri orang Baduy Dalam menggunakan pakaian berwarna putih alami atau biru tua serta memakai ikat kepala warna putih.Â
Salahsatu peraturan keras suku Baduy Dalam yaitu dilarang menggunakan alas kaki, dilarang menggunakan alat transportasi, dilarang menggunakan alat elektronik, menggunakan kain warna putih/hitam yang ditenun/dijahit sendiri dan pintu setiap rumah harus mengarah ke utara/selatan.Â
Bagi yang melanggar akan dikenakan sangsi dan salahsatunya dikeluarkan dari desa adat sehingga menetap dibaduy luar. Pendudukan baduy luar salahsatunya mereka yang telah melanggar peraturan adat, secara pribadi berkeinginan untuk keluar dari desa adat baduy dalam dan menikah dengan warga baduy luar.Â
Masyarakat Baduy Luar yang saya kunjungi, ada yang masih menggunakan pakaian adat warna hitam atau biru tua dan kaos oblong, menggunakan peralatan makan dari plastik dan peralatan modern lainnya serta sebagian besar sudah beralih agama menjadi muslim. Ketika memasuki desa kanekes seperti dibawa kelorong waktu.
Ketika dulu masih kecil, saya masih ingat berkunjung kerumah nenek dikaki gunung wilis, Tulungagung setiap mudik lebaran, rumah kayu dengan dinding anyaman bambu, jalan tanah yang berdebu, bau harum kayu bakar, serta wangi kopi yang disangrai.Â
Kain tenun yang cantik hasil karya para perempuan Baduy digantung didepan rumah, sepintas menyerupai etalase bagi wisatawan yang berkunjung. dan benar saja, para wisawatan yang sebagian besar perempuan langsung memilah kain-kain cantik hasil tenunan suku baduy luar. Kain kecil dihargai Rp 50k dan yang besar seharga Rp 250k.