Mohon tunggu...
Shinta Galuh
Shinta Galuh Mohon Tunggu... -

Seorang Muslimah, menikmati pekerjaan barunya sebagai dosen ilmu komunikasi, pecinta buku, suka sejarah, psikologi populer, dunia parenting, fashion dan buah-buahan. \r\n\r\nBerdoa untuk suatu hari, saat saya menjadi seorang ibu, bunda, ummi, apapun namanya, dari anak-anak saya. ^__^

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Belajar pada Pijar, Belajar tentang Pijar

28 Februari 2011   14:17 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:11 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pelajaran dan hikmah kehidupan bisa datang dari mana saja. Apakah dari tetangga, dari pemulung yang mengais 'uang' di pembuangan rumah kita, atau bahkan dari aneka satwa dan flora yang Allah ciptakan untuk menghiasi bumi-Nya nan indah. Kadang, kita -saya sih tepatnya-, sungguh-sungguh lupa bersyukur. Saya juga seringkali merasa tidak aman, merasa takut akan sesuatu yang tidak ada dan hanya ada dalam prasangka saya. Saya kerap berburuk sangka pada-Nya.

Hari ini, pelajaran yang saya dapatkan adalah tentang syukur dan kuasa-Nya. Saya yakin, bahwa apa yang saksikan hari ini adalah 'jodoh' saya. Allah sudah menakdirkan mereka, orang-orang yang akan saya ceritakan ini, menjadi guru yang mengajarkan saya sebuah pelajaran yang sangat berharga. Mengapa saya bisa begitu yakin? Begini ceritanya,

Bus TJ yang saya tumpangi sedang melewati daerah Kuningan. Saat berhenti di salah satu shelter, saya lihat seorang petugas Busway yang ramah sedang membimbing empat orang tuna netra untuk naik ke bus. Tapi karena Bus TJ padat, petugas Busway menyarankan agar mereka naik bus yang lebih kosong. 'Baik sekali ya, petugas busway di shelter kuningan x itu' batin saya. Karena wajahnya memang sangat sumringah saat membantu keempat orang tuna netra tersebut. 'Alhamdulillah, walaupun masih apa adanya, setidaknya TJ lebih aman dan nyaman bagi mereka yang berkebutuhan khusus, bayangkan kalau mereka naik Bus biasa...' itulah yang terlintas di pikiran saya. Sisa perjalanan saya habiskan dengan berharap ada yang mau memberi saya tempat duduk, walaupun mustahil kecuali salah satu dari Mbak-mbak di hadapan saya memang akan turun.

Bus TJ sampai di Dukuh Atas, saya berganti bus. Bayangan empat orang tuna netra sudah berlalu dari kepala saya. Saya sempat melambaikan tangan pada seorang teman lama yang ternyata sejak tadi satu bus dengan saya. Saya juga sempat sedikit bersitegang dalam hati dengan orang yang mengantri di belakang saya yang terus mendesak maju, padahal Bus TJ baru kelihatan 'congor'-nya saja (Bus TJ bahkan nggak punya congor...). 'Mungkin golngan darahnya O,' begitu pikir saya. Entah dari mana pikiran ngawur itu datang...

Akhirnya saya naik Bus TJ tujuah T.Ugas yang akan berhenti di Matraman. Melewati Halimun, 'jodoh' saya datang. Empat orang tuna netra tersebut sudah ada di barisan depan antrian di halte Halimun. Seorang petugas, yang tidak seramah yang pertama membantu mereka. Disanalah semuanya terjadi. Keempat orang tersebut berbaris saling berpegangan. Tiga laki-laki, satu perempuan. Petugas Bus TJ menyerukan kepada penumpang untuk memberi tempat duduk. Beberapa penumpang, yang kebanyakan adalah perempuan, langsung berdiri. Entah ada apa dengan para lelaki sehat yang jumlahnya lebih dari cukup untuk memberikan kenyamanannya pada keempat orang tuna netra tersebut?

Seorang penumpang, perempuan (lagi-lagi, kemana yang laki-laki?) membantu mereka berempat. Wajahnya sangat sumringah seolah-olah keempat orang tersebut bisa melihatnya tersenyum. Satu persatu memasuki Bus TJ. Kakinya meraba-raba tempat berpijak sesuai dengan arahan petugas Busway, tangannya bersandar pada Mbak baik hati (semoga Allah memberkahi hidupmu, Mbak...). Perlahan-lahan, tapi pasti. Giliran yang perempuan masuk. Sedikit kepayahan, sehingga bajunya sempat tersingkap. Saat mereka di dalam, beberapa orang membimbing mereka duduk; walaupun mereka sudah meraba-raba tempat bergantung, dan tidak berharap untuk duduk.

Saat itulah, hati saya digedor-gedor oleh mereka. Mereka tidak mengeluh sedikitpun. Dari suara mereka saat bercakap-cakap, mereka terdengar bahagia. Apa yang membuat mereka bahagia, padahal mereka tidak melihat apa-apa? Apakah mereka tidak merasa khawatir kalau-kalau ada orang yang berbuat jahat pada salah satu dari mereka? atau takut kalau mereka akan jatuh saat melangkah ke dalam Bus? Atau apasajalah itu! Tidakkah mereka merasa khawatir? Bagaimana mereka bisa terdengar begitu bahagia meski tanpa cahaya?

Saya jadi teringat, suatu ketika saat saya menginjakkan kaki di tanah suci untuk pertama kalinya, hampir 11 tahun yang lalu. Saat thawaf, mengelilingi Ka'bah tujuh kali putaran, saya melihat seorang laki-laki berkulit hitam. Tapi penampilannya sangat bersih. Walaupun saya sudah lupa apa yang dikenakannya, tapi saya ingat kesan yang saya dapatkan saat melihatnya. Bajunya rapih, berwarna putih. Berjalan sendiri perlahan-lahan, dengan tongkat mengetuk-ngetuk lantai Masjidil Haram, mengelilingi Ka'bah. Bagaimana ia sampai di sana, dengan sebentuk tongkat, tanpa cahaya menyinari penlihatannya? Bagaimana ia tahu apa yang dikelilinginya adalah Ka'bah; bukankah ia tidak melihatnya dan tidak ada siapapun untuk membantunya?

Rabbana Ma Khalaqta Hadza Bathila...

Dan Allah tidak pernah menciptakan sesuatu dengan sia-sia. Pun menyia-nyiakan ciptaan-Nya...

Apa yang sudah saya perbuat dengan sepasang mata saya? Sudahkah saya mensyukurinya? Sudahkah saya mensyukuri setiap langkah kaki yang bisa dengan pasti saya pijakkan karena saya memiliki sepasang mata yang mampu melihat dan memilih jalan mana yang harus dilalui?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun