Mohon tunggu...
Shinta Galuh
Shinta Galuh Mohon Tunggu... -

Seorang Muslimah, menikmati pekerjaan barunya sebagai dosen ilmu komunikasi, pecinta buku, suka sejarah, psikologi populer, dunia parenting, fashion dan buah-buahan. \r\n\r\nBerdoa untuk suatu hari, saat saya menjadi seorang ibu, bunda, ummi, apapun namanya, dari anak-anak saya. ^__^

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Cantik Berhijab? (Part 2)

22 Oktober 2012   07:35 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:32 627
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suatu hari di sebuah restoran, seorang kerabat berkomentar melihat sebuah keluarga yang istri dan anak perempuannya berhijab panjang.
“Itu mah bukan kerudung, itu mukena,” ujar kerabat saya setengah mencibir.
Pikir saya saat itu, “Apa yang salah dengan kerudung panjang? Tidakkah memang demikian idealnya kerudung bagi seorang perempuan Muslim?”.
Saya agak terkejut ketika menyadari tidak banyak yang paham tentang hijab yang disyariatkan Al-Quran dan Hadits. Termasuk ketika saya berada dalam perdebatan apakah boleh memakai berhijab, memakai rok midi dan kemudian disambung stocking? Saya tentu berkeras dengan jawaban “tidak”. Tapi rupanya ada yang mengatakan “boleh” karena menurut orang itu stocking sudah cukup menutup kakinya. Perdebatan itu kemudian mereda ketika saya bertanya balik, “Apa dia boleh sholat dalam keadaan seperti itu?”.
Setiap Muslimah paham bahwa shalat harus mengenakan mukena, yang terdiri dari dua set pakaian yang menutupi seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan. Seringkali jemari tersibak atau tangan terlihat sedikit saja kita sudah kasak-kusuk merasa shalatnya tidak sah. Apa bedanya dengan keseharian kita? Bukankah syarat penutup aurat ketika shalat dengan apa yang Allah syariatkan sebagai penutup aurat kita sama: Menutup seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan?
Supaya kita sama-sama pintarnya, yuk kita telaah ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits tentang hijab…
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka Menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya.” (QS. An Nuur: 31)
“Hai Nabi, Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Ahzab: 59)
Dari dua ayat ini, kita dapat mengetahui bahwasanya yang diperintahkan untuk berhijab adalah “perempuan beriman”. Ini menandakan bahwa berhijab adalah tanda keimanan. Sehingga, ketika berhijab yang herus diingat pertama kali adalah bahwa berhijab adalah untuk Allah, karena keimanan dan kepatuhan kita pada Yang Maha Segalanya. Ini adalah aturan pertama dari yang utama: Hijab adalah lambang keimanan.
“Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya “
Ayat ini menunjukkan bahwa hijab adalah kerudung yang menjulur sampai menutup dada. Mengapa menutup dada? Karena dada adalah karunia Allah untuk para perempuan. Padanya ada keindahan rupa yang menjadikan banyak wanita berlomba-lomba menonjolkannya. So, ini aturan kedua, hijab adalah kerudung yang menjulur sampai menutup dada.
“Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.”
Jilbab, seringkali disalahartikan dengan hijab karena masalah budaya. Jilbab pada dasarnya mengacu pada pakaian panjang dan longgar yang menutup seluruh tubuh sampai ke mata kaki. Walaupun masih banyak berdebatan mengenai batasan jilbab bagi muslimah, tapi yang jelas, Al-Quran memerintahkan kita untuk mengenakan pakaian yang menutup seluruh tubuh. Ini adalah aturan ketiga, jilbab adalah pakaian yang menutup seluruh tubuh.
Hijab dan Jilbab, sesungguhnya berbeda, tapi satu kesatuan. Keduanya sama-sama dikenakan untuk menutup aurat perempuan Muslim. Banyak perbedaan pada batasan aurat di kalangan ulama. Mazhab syafii, misalnya, menganggap punggung tangan juga adalah aurat (ini alasan mengapa Muslimah di Indonesia shalat mengenakan mukena dan saat umrah/haji sibuk mencari sarung tangan), maka semestinya di Indonesia yang menganut mazhab Syafii dalam tata cara ibadah kerudungnya pun menganut mazhab Syafii. Yang kerudungnya panjang menjuntai menutupi telapak tangan. Mengapa ketika ada perempuan Muslim berpakaian demikian justru sering dicibir? Apakah yang mencibir lebih baik dari yang dicibir? Jangan-jangan mereka yang lebih disayang Allah daripada kita?

Nah, satu hal yang menginspirasi saya adalah kata-kata Ust. Ahsan Askan, MA, guru ngaji di kompleks tempat saya tinggal. Menurut beliau, pakaian seorang Muslimah (dan Muslim) harusnya adalah pakaian yang siap untuk dipakai shalat. Seperti perempuan-perempuan Mesir, kisahnya, saat azan berkumandang mereka langsung menuju masjid untuk shalat berjamaah, dengan pakaian yang mereka kenakan. Demikian juga yang sering kita lihat di Saudi manakala umrah/Haji. Dengan kerudung menutup dada dan baju panjang, para muslimah shalat tanpa halangan. Toh perintahnya kan sama-sama menutup aurat. Mengapa pada saat shalat kita detail sekali dengan kenampakan aurat, sedangkan keseharian kita tidak demikian? Jadi, ini saya masukkan ke dalam aturan berikutnya, hijab dan jilbab adalah penutup aurat yang sama fungsinya dengan penutup aurat saat shalat. Maka dari itu, idealnya, pakaian kita harus layak dipakai shalat, baik dari bentuk fisik maupun kebersihannya.
Selain dua ayat di atas, masih banyak lagi hadits-hadits yang menerangkan tentang hijab yang “wearable”. Salah satu hadits menerangkan tentang perempuan yang berpakaian tapi telanjang dan menyerupai punuk unta yang disebut Rasulullah SAW tidak akan mencium bau syurga.
“Ada 2 macam penghuni Neraka yang tak pernah kulihat sebelumnya; sekelompok laki-laki yang memegang cemeti laksana ekor sapi, mereka mencambuk manusia dengannya. Dan wanita-wanita yang berpakaian namun telanjang, sesat dan menyesatkan, yang dikepala mereka ada sesuatu mirip punuk unta. Mereka tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya. Sedangkan bau surga itu tercium dari jarak sekian dan sekian” (H.R. Muslim).
Kata-kata “Berpakaian namun telanjang” dalam hadits tersebut menunjukkan bahwa berpakaian Muslimah tidak boleh ketat atau transparan sehingga terlihat seluruh lekuk tubuhnya seperti orang yang telanjang. Berikutnya adalah perihal punuk unta di kepala perempuan. Suatu hari saya tidak sengaja menjepit rambut saya tinggi-tinggi sebelum memakai kerudung. Alasannya sederhana, biar isis, alias adem. Saat saya mengenakan kerudung, di depan cermin saya termangu, mendadak saya teringat hadits di atas. Mungkin ini yang disebut dengan punuk unta. Pandangan saya sejalan dengan sebuah blog mengenai muslim fashion yang dibuat oleh seorang Muslimah Amerika. Grup diskusi blog tersebut sepakat bahwa hijab yang didalamnya “disumpel” sesuatu sehingga kelihatan “menjulang” adalah apa yang disebut dalam hadits Rasulullah SAW tentang perempuan yang mengenakan sesuatu menyerupai punuk unta pada kepalanya. Dan sedihnya tidak berapa lama berselang, “punuk unta” tersebut justru menjadi tren dan dijual sepaket dengan “daleman” hijab. So, ini aturan berikutnya, hijab itu tidak menyerupai punuk unta.

Saya sebagai penulis, bukan perempuan yang paling sempurna dalam berhijab. Kesempurnaan hanya milik Allah; sedang contoh terbaik dalam berhijab adalah para istri Rasulullah SAW dan para wanita beriman di zaman Rasulullah SAW yang bersegera dalam berhijab ketika turun perintahnya.
Ketika kita memutuskan untuk berhijab, itu adalah sebuah langkah besar. Hijab yang kita kenakan adalah untuk Allah, bukan untuk menjadi cantik, bukan untuk dilirik, bukan untuk menunjukkan bahwa kita bertakwa, apalagi menunjukkan kita modis semata. Sombong hanya milik Allah; sedang untuk kita “hanya” menaati perintahnya. Menghijab kejumawaan hati, menghijab perbedaan jasadi; dengan “hijab” sesuai aturan Allah ta’ala.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun