Mohon tunggu...
Katarina Nitya A.D.
Katarina Nitya A.D. Mohon Tunggu... Mahasiswa - -

-

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Stigma Menstruasi : Tabu yang Tak Seharusnya

14 Desember 2024   18:47 Diperbarui: 14 Desember 2024   18:47 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Permasalahan "cuci pembalut" sempat menjadi diskursus antara pengguna media sosial di Indonesia. Dilansir dari detikhealth.com, sebuah video yang diunggah akun TikTok @fuserep membuat isu tersebut viral, dengan videonya ditonton lebih dari 2,3 juta pengguna Tik Tok. Video yang diberi caption “Pembalut kalian di cuci dulu atau langsung buang?” menimbulkan opini baik pro maupun kontra terhadap pencucian pembalut. Ada yang berpendapat bahwa pembalut harus dicuci untuk menghindari hal-hal yang mistis, ada juga yang beranggapan bahwa pembalut harus dibersihkan sebelum dibuang agar kemungkinan darah mereka dilihat orang lain minim. Alasannya selalu merujuk terhadap menstruasi sebagai hal yang kotor dan memalukan. Perempuan tidak boleh menunjukkan tanda-tanda bahwa dia menstruasi, bahkan di alat menstruasi yang telah dia gunakan.

Isu 'cuci pembalut' hanya menjadi satu contoh dari dampak stigma terhadap menstruasi yang beredar di masyarakat Indonesia. Menstruasi masih menjadi hal yang tabu di Indonesia. Menstruasi dianggap sebagai sesuatu yang harus disembunyikan dan disamarkan. Kata 'menstruasi' atau 'mens' tidak boleh diucapkan secara gamblang, melainkan digantikan dengan kata yang dianggap lebih halus, seperti 'datang bulan', 'lagi dapet' dan seterusnya. Perempuan tidak boleh terlihat sedang menstruasi sehingga dia harus membawa produk menstruasi dengan diam-diam. 

Darah menstruasi sendiri dipandang sebagai sesuatu yang jorok. Jika darah menstruasi sampai bocor dan meninggalkan tanda di pakaian seorang perempuan, dia dianggap tidak bisa menjaga dirinya sendiri. Reaksi yang sama tidak terjadi ketika seorang perempuan luka ‘biasa’, seperti lecet. Darah menstruasi dan segala hal yang berhubungan dengan mens seakan-akan menjadi hal yang terkotor dari diri perempuan. 

Namun, apakah pantas menstruasi mendapatkan stigma yang sebegitu besarnya? Sifat tabu dari menstruasi membawa lebih banyak dampak negatif dibandingkan positif. Perempuan yang bermenstruasi tidak bisa mengatakan dengan terbuka keluh kesah mereka. Jika seorang perempuan tinggal di lingkungan yang konservatif dimana tabu menstruasi masih erat, dia akan semakin ditekan untuk tidak membicarakan masalah menstruasi. Jika terjadi komplikasi dalam siklus menstruasinya, dia tidak bisa mencari bantuan. Stigma tersebut akan menghantui dia dan menyebabkan keengganan untuk mencari pertolongan. Komplikasi dalam menstruasi tidak bisa didiamkan karena dapat berdampak buruk dan bahkan fatal terhadap perempuan yang mengalaminya.

Tabu terhadap menstruasi menjadi salah satu contoh dimana misogini–kebencian atau pandangan negatif terhadap perempuan–sudah melekat di masyarakat. Stigma tersebut diterima oleh masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan. Stigma tersebut dijadikan cara untuk membungkam perempuan dan mencegah mereka dari menyuarakan apa yang terjadi terhadap tubuh mereka. Stigma menstruasi bisa dikatakan sebagai taktik untuk mengontrol tubuh perempuan. Ketika perempuan tidak bisa berbicara tentang tubuhnya dengan terbuka, sama saja dengan dia kehilangan kendali atas tubuhnya. Otonomi atas tubuhnya tidak dikuasai oleh dia, tetapi kaum yang membuat dan memaksakan tabu atas tubuhnya sendiri.

Stigma menstruasi merupakan satu serpihan dari permasalahan yang lebih besar, yakni diskriminasi terhadap perempuan. Selama diskriminasi tersebut masih berlanjut, tidak ada harapan untuk penyelesaian permasalahan stigma menstruasi. Stigma tersebut tidak bisa diangkat jika otonomi atas tubuh wanita belum diserahkan sepenuhnya kepada mereka. Solusi jangka panjang mungkin tidak ada sekarang, tetapi masih ada solusi jangka pendek yang bisa dilakukan oleh perempuan. Contohnya adalah sikap yang lebih terbuka terhadap menstruasi, penghilangan rasa malu ketika mendiskusikan menstruasi, pembawaan produk menstruasi secara terbuka tanpa disembunyikan dalam kantong baju dan seterusnya. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun