Sejumlah cacat demokrasi dalam kontestasi elektoral daerah ini setidaknya bisa dipetakan ke dalam beberapa isu fundamental sebagaimana yang telah usai. Misalnya: tantangan dinamika politik partai, kandidasi calon, kampanye, kecurangan, integritas penyelenggara, dan sebagainya.
Politik Identitas
Tapi, yang tak kalah anomalik dari atmosfer politik kita hari ini adalah menguatnya sentimen parsial yang dibingkai dalam politik identitas.Â
Politik identitas, sebagaimana kita tahu, selalu mewartakan narasi-narasi yang bersinggungan dengan masalah suku, agama, ras, dan antar-golongan (SARA) dalam ruang politik. Pola ini cukup bahaya bukan hanya karena menumpulkan rasionalisasi ideologis pemilih, tetapi juga akan makin meretakkan keakraban warga negara.
Setidaknya, potensi anomalik soal politik identitas ini tercermin dari pilkada serentak sebelumnya. Pada Pilkada 2018, misalnya, isu strategis yang muncul justru dominan pada narasi identitas: 68,3 persen isu agama, 11,7 persen isu ras, etnis, dan suku, 11,2 persen gender, dan 7,8 persen berkaitan dengan latar keluarga.Â
Skema yang serupa juga berlangsung pada Pilkada 2017. Bahkan, populisme dan politik identitas di Pilkada DKI Jakarta 2017 silam masih menyisakan luka yang tak selesai bagi demokrasi Indonesia hingga kini.
Dalam kontestasi elektoral, kanalisasi atribut keagamaan hingga mengkristal menjadi politik identitas sebenarnya tidak diharamkan dalam demokrasi.Â
Amy Guntmann (2009) dalam Identity in Democracy menyebut bahwa politik identitas merupakan efek samping dari kebebesan yang digaransi oleh demokrasi.Â
Namun, penggunaan politik identitas, di tengah derasnya arus informasi justru menjadi sebab timbulnya kegaduhan secara masif di tengah masyarakat. Salah satu strategi preventif untuk mengantisipasinya yaitu dengan meningkatkan literasi politik.
Politik identitas, bagaimanapun, telah menumpulkan rasionalisasi pemilih. Preferensi ideologis pemilih justru tergantikan oleh panorama SARA. Pemilih justru dibuat rabun pada sepak terjang dan visi-misi kandidat, dan diganti dengan 'solidaritas populis' golongan ras dan agama tertentu.Â
Selain akan membuat pilkada tak berkualitas, politik identitas yang dibalut atas dasar sentimen rasial juga akan memecah kesatuan publik Indonesia.