[caption id="attachment_364525" align="aligncenter" width="420" caption="Anti "][/caption]
“Kentut” memang jadi sumber kehidupan manusia. Bayangkan, jika manusia tidak bisa “kentut”. Jelas membahayakan kesehatan. Angin yang keluar dari lubang dubur itu terkadang menjadi dilema sendiri bagi empunya “kentut”. Penempatan dalam mengeluarkan gas ini mesti hati-hati. Jika salah, bisa fatal akibatnya.
Beruntung, jika “kentut” dikeluarkan dihadapan satu atau dua orang sehingga pelakunya mudah ditebak sebagai tersangka. Namun, bagaimana jika gas ini dikeluarkan dalam kerumunan manusia. Pastinya, dugaan-dugaan tidak mendasar pada seorang yang dituduh langsung mencuat. Kerumunan berteriak, pengentut tertawa, dan tertuduh menjaga diri dengan segenap argumennya.
Benar, kentut itu menggelikan sekaligus menggemaskan. Ya, layaknya Jurnalisme “kentut” yang tengah mewabah di publik. Menulis tanpa pengetahuan, membaca tanpa memahami, dan menimbang berita yang akan dimuat tanpa tahu narasumbernya. Entah isinya apa, tak ada sumber yang jelas namun tetap naik ke permukaan. Imbasnya, publik saling menghardik dan menyatakan bahwa dirinya sebagai pengamat terbaik.. Loh, kok bisa?
Pasti bisa. Pasalnya, jurnalisme “kentut” malas mencari kebenaran dari berita yang akan dimuat. Asumsinya, sekadar meramaikan isu nasional yang sebenarnya tidak penting. Perhatikan saja, jika berita jurnalisme “kentut” itu isinya hanya sekadar meramaikan tulisan di tembok-tembok media online. Tak salah, jika bau “kentut” para pencari berita ini hanya membuat publik terenyuh basi. Bodohnya lagi, saya ikut membaca berita yang isinya “kentut” itu juga. Sehingga saya menjadi orang yang dikentuti dengan berita tersebut.
Ya, merebaknya kabar bahwa Abraham Samad (AS) selaku ketua KPK tiba-tiba naik daun pada media massa akhir-akhir ini. Benar, bukan karena AS telah menetapkan Komjen Budi Gunawan sebagai tersangka atas transaksi mencurigakan dalam kasus dugaan penerimaan hadiah atau janji. Namun juga karena beredarnya foto AS bersama Elvira DW, Puteri Indonesia 2014 yang disebarkan melalui email elektronik (tidak jelas pengirimnya) ke sejumlah media massa.
Berita “kentut” itu menyebar melalui segala macam media massa tanpa melakukan pencarian narasumber yang jelas (pengirim email ke media massa). Parahnya lagi, media online maenstreem hingga media “abal-abal” justru percaya diri untuk menyiarkan dakwah sesatnya kepada publik. Imbasnya, bau “kentut” itu meluas hingga penjuru Indonesia. Lalu siapa yang bertanggung jawab? Tidak ada. Semuanya seperti kentut yang nanti baunya akan hilang sendiri.
Memang benar, beberapa media massa coba berusaha melakukan wawancara dengan AS. Namun itu hanya menjadi pemanis saja agar tulisan ini tetap menjadi berita bukan opini. Buktinya, AS tetap menjadi tertuduh di pikiran banyak orang.
Ya sudahlah, jikapun benar bau “kentut” tersebut. saya pribadi tidak merasa dirugikan selama biaya yang digunakan AS untuk mendekati puteri Indonesia bukan berasal dari anggaran negara alias korupsi. Saya lebih merasa dirugikan dengan jurnalisme “kentut” karena telah berhasil mengentuti banyak orang, termasuk saya. Hahahahahaha…
Tulisan ini juga telah dipublikasikan di blog pribadi (katapendidik.blogspot.com)
Twitter @Rahmandani86
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H