Mohon tunggu...
Syukron
Syukron Mohon Tunggu... -

Berimajinasi seperti anak-anak, semangat ala pemuda, dan bijaksana layaknya orang dewasa..

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Pemakaian Kata ‘Surga’, ‘Nirwana’ dan Lainnya Dalam Artikel Perjalanan

6 Mei 2015   22:29 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:18 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemakaian kata ‘surga’, ‘sorga’, ‘nirvana’, ‘nirwana’, atau ‘eden’ dalam artikel perjalanan sudah sampai pada tahap memuakkan. Beberapa tahun ke belakang, setiap saya di kursi pesawat dan membolak-balik flight magazine, dan menemukan artikel yang judulnya terdapat kata ‘surga’, saya menggeleng kepala dan membunyikan ‘ck!’ Seakan-akan tidak ada kata lain untuk menggambarkan keindahan suatu destinasi. Tidak ada kreativitas dalam kepala penulis perjalanan, tidak ada kekayaan ide. Padahal, ide dan kreativitas harusnya dekat dengan mereka yang sering berplesir. Tetapi kenapa untuk urusan istilah saja terpaku pada kata yang itu-itu saja? Rasa-rasanya setiap orang yang baru melihat panorama yang mereka anggap cantik akan langsung bergumam, “Gila! Surga banget.” Basi. Soal kaitan term ‘surga’ dan perjalanan sudah banyak dibahas oleh beberapa ahli yang intens mengkaji fenomena perjalanan. Tomory dalam A Season in Heaven: True Tales from the Road to Kathmandu menyebutkan bahwa pencarian akan ‘surga’ bagi pejalan terkait dengan romantisme terhadap originalitas dan ‘kemurnian yang perawan’. Bagi Tomory, surga yang merupakan tempat mitologis di mana semua hal berasal adalah sebuah anti-thesis bagi peradaban modern. Oleh karena itu, perjalanan ‘kembali ke surga’ adalah simbolisme untuk ‘kembali ke asal, ke keadaan tanpa dosa’. Wajar saja jika perjalanan kerap diasosiasikan dengan istilah re-kreasi. Setidaknya itu menurut sosiolog Erik Cohen. Namun, Cohen tak berhenti di situ. Ia menganggap bahwa tempat yang dicap sebagai ‘surga’ biasanya adalah yang mendapat label ‘di ujung dunia’. Cohen menyebutnya ‘marginal paradises’. Sayangnya, bumi berbentuk bulat. Sehingga apa yang dimaksud ‘ujung dunia’ sebenarnya bisa berarti di mana saja. Maka yang terjadi kemudian adalah McDonaldisasi surga turistik. Surga sejak awal adalah sesuatu yang dibayangkan, dikira-kira, ditebak-tebak. Demikian pula dengan ‘surga’ dalam konteks pariwisata. Setiap orang berhak menganggap apa yang dilihatnya adalah surga. Saking indahnya. Dan, bukankah keindahan sangat relatif? Jadilah ‘surga’ ada di mana-mana dan semua orang menceritakan tentang ‘surga’ yang baru dilihatnya. McDonaldisasi ‘surga’ tadi sebenarnya adalah respon industri pariwisata terhadap pencarian orang tentang sesuatu yang ‘murni’, ‘asli’, ‘tidak modern’, dan ‘jauh dari peradaban’. ‘Surga’ lantas menjadi terma yang sangat sering muncul di brosur wisata, lengkap dengan seruan yang meledak-ledak: Welcome to Paradise! Setelah industri mengomodifikasi istilah ‘surga’, orang-orang dengan cepat mengiyakan. Mereka merasa benar-benar ada di surga saat mengunjungi pantai berpasir putih yang tenang atau bukit yang hijau dan jauh dari keramaian. Kata ‘surga’ yang tadinya bermakna sakral dalam konteks spiritualitas, kemudian menjadi banal seiring pemakaian yang tanpa putus oleh kalangan penikmat kelana, termasuk mereka yang menulis soal perjalanan. Terlalu seringnya kata ‘surga’ dipakai dalam artikel-artikel perjalanan adalah bukti betapa kacaunya kehidupan sosial dan rutinitas masyarakat modern hari ini, apalagi di kota-kota besar. Setiap hari, secara rutin, masyarakat ditekan oleh obligasi-obligasi sosial budaya yang mengekang: tanggung jawab di rumah, sekolah, kantor, masyarakat, dan sebagainya. Mereka lelah dan payah, lalu mengutuk kehidupan urban yang mereka hidupi sehari-hari sebagai neraka. Saking capeknya bergumul dengan macet atau berdesakaan di commuter line setiap hari, di kepala segenap kaum urban terpampang imajinasi yang kontradiktif dengan khaos yang nyata di depan mereka. Gambaran yang muncul adalah sesuatu yang sama sekali berbeda: suatu tempat yang tenang, bebas macet, tanpa polusi, berlangit biru, banyak pohon, dan sangat alami. Sesampai di rumah, mereka bergegas mengepak ransel dan menuju kemana saja yang mereka anggap ‘surga’. Maka, ketika esok kita melihat kata ‘surga’ dalam judul artikel di sebuah majalah travel, seharusnya kita bersedih. Pertama, karena kita hidup di keseharian yang bak neraka. Kedua, karena banyak travel writer lokal telah kehabisan kreativitas. Pahit.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun