Mohon tunggu...
silmia putri
silmia putri Mohon Tunggu... -

i am positive :-)

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Menunggu Ayah

7 September 2010   15:23 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:22 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hujannya tak bersahabat, ayah pasti kedinginan. Aku bosan menunggu ayah, berlarut-larut di belakang jendela besar berterali warna merah tua. Dengan mata yang jika diperbolehkan, tidak mau berkedip, tak mau kehilangan kesempatan melihat ayah keluar dari cengkraman hujan dan memasuki halaman rumah.

Tapi selama apapun aku tak berkedip, ayah tak kunjung datang. Hujan pun tak henti meneriakkan petir.

Aku pantas khawatir. Ayah sudah terlalu tua untuk harus tetap menjaga toko Kelom Geulis yang letaknya belasan kilometer dari rumah. Aku sudah sering mengingatkannya, kelom sudah jarang diminati. Jika mau, buatlah kelom yang lebih inovatif, yang lebih modern. Jadi, remaja sepertiku mau mengenakannya. Tapi ayah tetap bersikukuh. Dia bilang bahwa dahulu, semua gadis mengenakan kelom, ke pasar, ke mesjid, atau sekedar memetik bawang di pekarangan rumah.

Ah ayah, tapi itu dulu. Sebelum ada sepatu-sepatu berhak tinggi, hak datar, bahkan sandal jepit.

Pandanganku tak bergeming. Meski rengkuhan tanganku pada terali jendela mulai melemah. Ingatanku terus berlari-lari pada wajah ayah di setiap potret mimiknya. Ayah yang sedang tersenyum melihatku membawa piala ranking 1 waktu masih di Taman Kanak-Kanak, ayah yang sedang khawatir melihatku terjatuh dari sepeda hadiah ulang tahun darinya, dan ayah yang sedang sedih menatap kepergian ibuku bertahun-tahun yang lalu, saat aku masih belajar berbicara.

Apapun mimik ayah. Dia tetap sosok bijak yang tenang. Dia tidak akan marah meski baju batik kesayangannya bolong karena aku gunting. Juga tidak akan marah ketika aku merengek minta dibelikan boneka Barbie berambut pirang keriting, padahal ayah habis kecopetan. Ayah tetap tersenyum menenangkanku, mengatakan beberapa kata sederhana untuk meredakan tangisku. Memang hanya beberapa kata, tapi bagiku, maknanya tak terhitung.

Aku menarik nafas panjang dan menghembuskannya pelan-pelan. Di luar gelap sekali. Apa ayah membawa payung? Aku lupa mengingatkannya tadi pagi. Biasanya ayah memintaku mencium keningnya setiap pagi sebelum dia pergi. Dan aku akan membawakan tasnya sambil memperhatikan barang apa saja yang dia bawa. Aku takut ada satupun yang tertinggal. Aku tidak mau ayah harus kembali mengayuh sepeda ke rumah, hanya karena dia lupa memasukkan dompet ke tas hitamnya.

Ayah sedikit pelupa. Tapi dia tetap tenang. Ya, semua bisa dia lupakan, kecuali Tuhan, aku, dan ketenangannya.

Dia pernah berbisik ke telingaku, “keputusasaanmu atau penolakanmu terhadap apa yang terjadi padamu adalah bukti ketidakpahamanmu, bahwa selalu ada campur tangan Allah di dalamnya”. Lalu setelah berbisik ayah tersenyum. Hatiku tenang sekali.

Ketika ayah harus merawatku sendirian, ayah tidak pernah mengeluh. Meski ada bi Yani, adiknya yang tinggal serumah dengan kami, ayah tak pernah mau menyusahkan Bi Yani untuk sekedar menggantikan pakaianku, atau menyuapiku makan. Ayah akan melakukannya sendiri, selama ayah bisa. Ayah ingin membuktikan bahwa dirinya mampu menjadi seorang ayah sekaligus ibu bagiku. Aku sangat mencintai ayah.

Tapi ayah masih saja belum terlihat menerobos lautan hujan yang deras ini. Membuat dadaku berdegup lebih cepat. Kekhawatiran yang semakin menjadi-jadi. Ah, ayah, kenapa ayah tidak mau membawa handphone? Aku sudah membujuk ayah berkali-kali. Tapi ayah dengan kehidupan tradisionalnya selalu memikirkan efek negative handphone dibanding efek positifnya. Memang, ayah selalu pergi dan pulang tepat waktu, semua sesuai dengan waktu yang dijanjikan, hingga siapapun tidak harus meneleponnya untuk meminta kepastian. Tapi hari ini? Aku benar-benar menyesal tidak menyusupkan handphone di saku celananya.

Aku semakin khawatir. Keningku tak berhenti berkerut. Cengkraman tangan pada terali besi kembali menguat. Lalu samar kudengar suara Bi Yani terdengar di belakangku.

“Arina sayang, ayo tidur, udah malem lho”, Bi Yani mengelus pundakku dan melebarkan senyum tulusnya. Aku tak bergeming. Bahkan tak mau menatapnya.

“Aku akan menunggu ayah pulang”,ucapku tegas.

Bi Yani mulai kehilangan senyumnya. Dia memutar tubuh kurusku dan menghadapkanku ke depan wajahnya. Mulai mengeluarkan kata yang sama setiap malam, setiap aku menunggu ayah.

“Ayahmu tidak akan pulang,Nak. Dia sudah pergi untuk selama-lamanya. Percuma kamu menunggunya setiap malam seperti ini”, Bi Yani menatapku dengan penuh belas kasihan. Rasa-rasanya aku seperti anak yang penuh penderitaan. Ah, bibi, ayah pasti akan pulang.

“Di luar hujan deras Bi, ayah pasti pul..”

“Tidak Arina.” , Bi Yani memotong ucapanku cepat, dan melanjutkan perkataannya dengan lebih cepat.

“Di luar tidak hujan Arina, lihat! Tidak hujan!”

Aku meringis, menitikkan air mata seperti pada malam-malam sebelumnya. Tak pernah berhenti menangis, sejak Bi Yani memberitahuku, bahwa ayah meninggal tertabrak mobil bus saat hujan besar, saat aku menunggu kepulangannya 5 tahun yang lalu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun