Memang setiap anak zaman punya kekhasannya sendiri. Walaupun memang baru saja menjadi berita viral di media sosial, om telolet om mungkin menjadi salah satu ciri anak gadget saat ini. Saya tidak tahu apakah memviralnya berita ini akibat kelucuan adegan para anak yang memampangkan spanduk permintaan itu atau “kecanggihan” otomasi pengoperasian beberapa ukuran dan nada klakson yang terpasang pada setiap bis Pantura tersebut.
Bagi mereka yang masih anak-anak pada kurun waktu 1960 – 1970 yang hidup terpencil di satu daerah, jangankan melihat hp android, melihat notebook saja sudah membuat mulut mereka ternganga, mengingat yang paling canggih yang pernah mereka lihat ialah mesin ketik jinjing, Brother yang biasa mereka lihat di kantor kepala desa. Akan tetapi, jika dibandingkan dengan klakson om telolet on ini, anak zaman enam puluhan di daerah Sumatera bagian tengah dan utara masih boleh berbangga. Betapa tidak, mereka tidak perlu meminta, setiap bus yang melewati jalan raya yang ada di depan. Mereka mungkin senang tetapi tidak “sekemaruk” anak gadget. Anak-anak ini hanya disuguhi lagu sekilas untuk segera menghilang di kejauhan. Lagu yang dimainkan oleh klakson bis akap ini memang bukan dimaksudkan sebagai penghibur warga di desa-desa yang mereka lintasi, klakson ini dimaksudkan untuk menjadi hiburan bagi penumpang bus. Dari Padang hingga ke Medan yang ketika itu bisa memakan waktu lebih dari 50 jam (saat ini hanya 18 jam) dari bis ini akan kedengaran lantunan lagu-lagu Muchsin-Titiek Sandhora, atau lagu-lagu Minang yang dipopulerkan oleh Uni Elly Kasim (dalam video sedang dimainkan lagu “Sinar Riau di Pandakian”) yang salah satunya ialah bis akap “Sinar Riaw.”
Sebagaimana dengan klakson om telolet om ini, klakson zadul juga berupa rangkaian klakson dengan beragam ukuran sehingga membangkitkan nada yang berbeda. Klakson ini ditiup oleh udara ejos yang dialirkan dan dikendalikan oleh kotak angin sekaligus merupakan papan “organ” yang terpasang di ruang kemudi bis. Tuts organnya berupa tuas sederetan klep (katup) yang akan mengalirkan udara ejos dari kotak angin ini ke setiap klakson.
Jenis yang ditayangkan dalam video ini merupakan jenis yang awal-awal dan masih sangat sederhana. Klakson sederhana ini dipasang di tiang kemudi dan dimainkan sendiri oleh supir bisnya. Sesuai dengan kenbutuhannya, papan organ ini ada yang sampai berisi tuts dua-oktaf. Jenis ini sedemikan panjang ukurannya sehingga tidak bisa lagi dipasang pada tiang stir tetap sudah harus dipasang pada dasbor di samping kiri supir. Di jok samping supir [disebut acc (baca: a-se-se)] inilah duduk seorang pemain untuk menari-narikan jemari di atas papan organ yang ada di depannya.
Karena lagu-lagu yang dimainkan ditujukan untuk menghibur penumpang, si pemain pun sama-sama melek bersama si supir. Tidak peduli sedang melintasi desa atau sedang berada di kelokan-kelokan jalan yang membelah hutan tropis Sumatera, lagu-lagu yang sedang populer saat itu akan membahana.
Dengan serbuan tep mobil pada awal 1970-an, satu demi satu klakson itu diturunkan dari panggung hiburan jalanan karena fungsi klakson ini telah diambil-alih oleh saingannya, si tep mobil. Sejalan dengan persaingan, klakson ini langsung menghilang dalam hitungan bulan.
Inilah sekilas cerita yang diwariskan oleh para senioren di daerah saya.
Saya mengucapkan selamat merayakan Natal 2016 dan menyambut erta merayakan Tahun Baru 2017 kepada para Kompasianer, terkhusus kepada Angku Tjiptadinata Effendi dan “gandengan” setianya.
Alhamdulillah, misa Natal sudah beberapa jam berlalu dengan aman dan tetangga saya pun telah tidur nyenyak setelah pulang dari gereja. Semoga hal serupa kita alami hingga acara perayaan Tahun Baru berlalu, amin . . . .
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H