Ketika saya bersua dengan kedua kosakata dalam beberapa tulisan ustad Gasa, saya berpikir bahwa saya sudah jauh ketinggalan dalam perbahasa-indonesiaan. Malu, cari makan dalam utak-atik bahasa Indonesia, alpa dalam perkembangan bahasa Indonesia.
Darah Batak saya langsung naik ke ubun-ubun setelah membaca satu tulisan seorang yang sudah ketularan virus khomeini bahasa. Wong sudah memasyarakat, mengapa tidak difasilitasi? Mengapa kita tidak meniru kapir Belanda yang mau membuang waktu untuk mendokumentasikan dan menulis kaidah untuk bahasa negeri jajahannya? Dalam ejaan misalnya, seorang kapir Belanda telah berhasil menabalkan namanya menjadi nama sistem ejaan yangberlaku dalam bahasa Indonesia yang kemudian digantikan oleh ejaan Soewandi. Setelah Hindia Belanda ini dikuasai oleh anak negeri, mengapa sistem Ejaan yang Disempurnakan (EYD) yang belum sempurna itu baru berhasil diperbaiki setelah 40 tahun. (Itu pun masih jauh LEBIH TIDAK LENGKAP—jangankan sempurna—dari pada buku pintarku.)
Alangkah bodohnya (dibaantu, kok, ogah?) institusi negara yang mengabaikan perkembangan bahasa Indonesia yang terjadi di masyarakatnya.Dari beberapa tulisan, para pegiat Kompasiana ini sudah tidak “cecanggung” lagi menggunakan “gegara” dan “tetiba.” Sungguh berbeda nian pola pikir masyarakat “swasta” dibandingkan dengan pola pikir kaum “kalau bisa dipersusah, mengapa juga dipermudah”? Ada yang lebih ringkas, “gegara,” mengapa juga harus menggunakan “gara-gara”? Ada “tetiba,” mengapa juga harus mewajibkan “tiba-tiba”? Kedua kata itu sudah sering digunakan oleh pegiat Kompasiana, misalnya, secara tidak cecanggung!
Bah, ada “gegara,” apa pula itu “cecanggung.”
Saya belum sempat mengkaji (jangan baca: mengaji) mengapa masyarakat yang mukim di negeri jiran, Malaysia, lebih memilih “pepohon,” “tetamu,” dll. yang kalau di negeri kita harus “dipersusah” lagi dengan penambahan akhiran –an (“pepohonan,“ misalnya). Kal au mereka sudah terbiasa dengan cara itu, sudah pasti mereka sudah punya kaidah pembentukannya. Namun, setelah putar otak beberapa saat dan mencobanya untuk sejumlah kosakata, saya pun bisa mengganti “Jangan cangung-canggung bekerjanya!” dengan “Jangan CECANGGUNG bekerjanya!” Mengapa kata ulang “canggung-canggung” bisa diubah menjadi “cecanggung”? Ya . . . bisalah, karena ada kaidahnya:
Kata ulang yang huruf awalnya berupa konsonan bisa dipersingkat penambahan awalan “huruf awal kata dasar ditambah “e”.
Dengan kaidah ini “canggung-canggung” bisa diekonomiskan cukup dengan penambahan awalan “c (huruf awal kata dasar 'canggung') + e” pada kata dasarnya (“canggung”), yakni “CEcanggung.” Analog, muncullah “pepohon” (bahkan lebih ekonomis dari “pepohonan”), “tetamu,” “jejari,” yang di negeri jiran kosakata ini sudah akrab di telinga mereka.
Saya belum pernah baca sumber primernya, tetapi dengan pengangkatan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi negeri Asean, bukankah dengan pemungutan resmi awalan baru ini oleh pemerintah Indonesia akan “menyejukkan” hati saudara kita yang di Malaysia, Singapura, dan Brunai?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H