Untuk itu, dibutuhkan partisipasi dari semua pihak, baik pemerintah ataupun masyarakat dengan melakukan program edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat mengenai produk dan layanan perbankan syariah sehingga semakin meningkatkan kesadaran dan minat masyarakat untuk menggunakan jasa perbankan syariah. Baru-baru ini pemereintah yang dalam hal ini diwakili oleh OJK menggelar acara Expo iB (Islamic Banking) Vaganza 2015 yang diselenggarakan di lebih dari 15 kota besar di Indonesia. Hal ini sangat bagus untuk memperkenalkan dan meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai keunggulan dan layanan perbankan syariah.
Disamping itu, perbankan syariah juga harus melakukan ekspansi jaringan kantor perbankan syariah, mengingat kedekatan kantor dan kemudahan akses menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi pilihan nasabah dalam membuka rekening di bank syariah. Dari pengalaman penulis, untuk menemukan Unit Usaha Syariah terdekat saja harus menempuh jarak kurang lebih empat kilo meter dari rumah. Padahal tempat tinggal penulis dapat dikategorikan sebagai perkotaan. Bandingkan saja dengan jarak yang harus ditempuh ketika menemukan kantor cabang pembantu beberapa bank konvensional yang hanya menempuh jarak tidak kurang dari satu kilo meter saja. Hal tersebut jelaslah sangat menghambat pertumbuhan perbankan syariah itu sendiri.
Hal lain yang harus dilakukan adalah upaya peningkatan kualitas layanan (service excellent) perbankan syariah agar dapat disejajarkan dengan layanan perbankan konvensional. Salah satunya adalah dengan pemanfaatan akses teknologi informasi, seperti layanan Anjungan Tunai Mandiri (ATM), mobile banking maupun internet banking. Untuk mendukung hal ini, secara khusus Bank Indonesia mendorong bank konvensional yang menjadi induk bank syariah agar mendorong pengembangan jaringan teknologi informasi bagi BUS dan UUS yang menjadi anak usahanya.
Kemudian yang harus dilakukan pemerintah adalah pengesahan beberapa produk perundangan yang memberikan kepastian hukum dan meningkatkan aktivitas pasar keuangan syariah, seperti: (i) UU No.21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah; (ii) UU No.19 tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (sukuk); dan (iii) UU No.42 tahun 2009 tentang Amandemen Ketiga UU No.8 tahun 1983 tentang PPN Barang dan Jasa. Lahirnya UU Perbankan Syariah mendorong peningkatan jumlah BUS dari sebanyak 5 BUS menjadi 11 BUS dalam kurun waktu kurang dari dua tahun (2009-2010). Sementara penerbitan sukuk oleh pemerintah sebagai implementasi dari UU Sukuk menambah outlet penempatan dana perbankan syariah dalam rangka pengelolaan likuiditas. Sedangkan pemberlakukan UU No.42 tahun 2009 merupakan ‘tax neutrality’ atas transaksi murabahah yang dilakukan oleh perbankan syariah dimana sebelumnya dikenakan pajak dua kali (double tax). Perlakuan pajak tersebut sangat merugikan perbankan syariah karena membuat pembiayaan dengan akad murabahah menjadi lebih mahal, sementara pembiayaan murabahah mempunyai porsi yang dominan dengan rata-rata 56,8% dalam lima tahun terakhir. Dengan diberlakukannya beberapa alternatif diatas diharapkan perbankan syariah Indonesia mampu mensejajarkan diri dengan perbankan konvensional, terlebih dapat menggeser dominasi perbankan konvensional pada sektor keuangan, khususnya dalam hal pangsa pasar. Wallahu a’lam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H