Sebagai negara dengan populasi penduduk muslim terbesar di dunia, ternyata tidak menjadikan perbankan syariah di Indonesia menjadi nomor satu. Hal ini amat disayangkan karena potensi yang dimiliki Indonesia sebetulnya cukup besar. Seharusnya dengan populasi muslim terbanyak dunia itu berbanding lurus dengan kejayaan perbankan syariah di Indonesia. Sebagai seorang muslim kita dituntut untuk dapat menjalankan ajaran Islam secara menyeluruh. Islam tidak hanya dalam bentuk ritual ibadah semata, tetapi juga meliputi segala aspek kehidupan baik dari aktivitas perbankan, politik, ekonomi dan sebagainya.
Perekonomian merupakan bagian dari aktifitas manusia. Tentunya seorang muslim haruslah melakukan aktivitas perekonomian sesuai dengan aturan-aturan yang ada di dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Kegiatan perekonomian diantaranya meliputi aktivitas perbankan. Berdasarkan konsep Islam yang universal dan komprehensif, maka Islam menginginkan adanya penerapan nilai-nilai Islam dalam aktivitas perbankan, sehingga aktivitas perbankan bisa berjalan sesuai dengan kaidah-kaidah Islam.
Sudah 23 tahun perbankan syariah beroperasi di Indonesia. Bermula pada tahun 1991, ketika itu bank syariah mulai muncul untuk bersaing dengan sistem yang selama ini menjadi satu-satunya pemain di ranah perbankan yaitu conventional system. Bank Umum Syariah (BUS) pertama di Indonesia adalah Bank Muamalat Indonesia yang didirikan pada tanggal 24 Rabiul Akhir 1412 H atau 1 November 1991 dan memulai kegiatan operasinya pada 27 Syawal 1412 H atau 1 Mei 1992. Pendirian Bank ini diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Pemerintah Indonesia. Pendirian BUS pertama diikuti dengan pendirian 9 Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS). Namun bank syariah sendiri baru diatur secara formal sejak diamandemen UU No 7 tahun 1992 dengan UU No 10 tahun 1998 dan UU No 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Kemudian disah Undang-undang No.21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Sejak saat itu mulailah Bank Syariah berkembang dengan pesatnya.
Berdasarkan data yang diperoleh dari OJK, selama periode tahun 2014, jumlah Bank Umum Syariah (BUS), Unit Usaha Syariah (UUS), maupun BPRS sampai dengan Oktober 2014 tidak mengalami perubahan, namun demikian jumlah jaringan kantor meningkat. Meskipun dengan jumlah BUS (12 bank) maupun UUS (22 bank), dan BPRS (163 bank) yang sama, namun pelayanan kebutuhan masyarakat akan perbankan syariah menjadi semakin meluas yang tercermin dari bertambahnya jaringan kantor sebanyak 2.950 pada periode yang sama.
Cukup fantastis memang, mengingat umur industri keuangan syariah baru belasan tahun. Akan tetapi, dengan perkembangan tersebut tidak dibarengi dengan perkembangan aset. Jumlah aset perbankan syariah kurang dari lima persen dari total aset perbankan konvensional. Menurut catatan Bank Indonesia, hingga Oktober 2014, total aset perbankan syariah, baik BUS maupun UUS Rp. 260,36 Triliun. Itu artinya aset perbankan syariah baru 4,78 persen dari total aset perbankan konvensional yang mencapai Rp. 5.445,65 Triliun. Apalagi pada tahun 2015 ini merupakan tahun kemunduran perbankan syariah karena adanya isu tentang merger bank syariah.
Fakta ini terasa ironis karena terjadi di negeri dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Padahal Majelis Ulama Indonesia pada tahun 2004 telah memfatwakan bahwa bunga bank haram. Tentu selayaknya pangsa pasar bank syariah haruslah tinggi dan terus meningkat. Karena idealnya kita berharap pangsa pasar perbankan syariah setidaknya sama dengan populasi penduduk muslim di negara tersebut.
Padahal sejumlah negara yang notabanenya bukan merupakan negara Islam pun ingin menjadikan konsep ekonomi syariah sebagai landasan perekonomiannya. Hongkong saja ingin menjadi pusat keuangan syariah dunia, begitu juga dengan Malaysia, Timur Tengah, bahkan Inggris. Hal tersebut membuktikan bahwa sebenarnya konsep ekonomi Islam dapat diterima oleh siapapun, tidak terbatas hanya untuk umat muslim saja.
Menurut Kariastanto, setidaknya ada empat kemungkinan alasan mengapa pangsa pasar bank syariah masih kecil di Indonesia. Pertama, kurangnya kesadaran muslim tentang bank syariah. Kedua, infrastruktur dan kualitas bank syariah secara signifikan kurang dari perbankan konvensional. Ketiga, bank konvensional memiliki keunggulan non teknis dibandingkan dengan bank syariah. Akibatnya, keuntungan perbankan syariah yang dapat memenuhi permintaan yang lebih luas, yakni layanan syariah dan konvensional tidak tercapai. Dan keempat, kurangnya dukungan penuh dari pemerintah akan perbankan syariah. Itu terbukti dengan tidak adanya satu rupiah pun uang negara yang diamanahkan kepada perbankan syariah.
Mayoritas masyarakat muslim awam di Indonesia masih belum bisa memahami secara penuh tentang operasionalisasi bank syariah sebagai bagian dari konsep Islam di dunia perekonomian. Ditambah lagi belum ada kesinambungan dan koherensi mengenai sistem “bunga” sebagai sesuatu yang dilarang dikalangan pemimpin, ulama dan juga masyarakat. Maka untuk pengembangan syariah di dunia perbankan nasional, perbankan syariah perlu mendekatkan diri kepada masyarakat secara ekonomi yang konvensional namun tetap didukung dengan nilai-nilai kesyariahan yang berlaku.
Jika dilihat secara branding, perbankan syariah sudah cukup kuat di Indonesia namun jika ditelusuri lebih jauh, branding pada perbankan syariah hanya sebatas kemasannya saja tetapi pendekatan operasionalnya lebih merujuk kepada perbankan konvensional. Hal ini terjadi karena adanya pendekatan pengembangan produk bank syariah yang dilakukan hanya untuk mensyariahkan produk konvensional.
Maka wajar kalau umat Islam masih harus mengalami dilemma pelik, yaitu antara pilihan menggunakan bank konvensional yang bunganya rendah dan hukumnya haram, dengan pilihan menggunakan bank syariah yang konon tanpa bunga, tetapi diganti dengan istilah bagi hasil, tetapi nilainya seringkali jauh lebih tinggi. Melihat akan fenomena tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa masih banyak masyarakat yang menganggap sama antara perbankan syariah dan perbankan konvensional.