tsunami yang dipicu oleh gempa dahsyat berkekuatan 9,1 skala richter melanda Aceh pada 26 Desember 2004 silam. Memori akan bencana yang meluluhlantakkan Tanah Rencong tersebut kini diabadikan dalam Museum Tsunami yang bertempat di Banda Aceh. Dari peninggalan dan gambaran tsunami yang terdapat di museum, terungkap bahwa peristiwa tragis yang merenggut 227.298 nyawa tersebut tidak hanya meninggalkan dampak materi, namun juga mengguncang aspek psikososial mereka yang berhasil bertahan.
MegaBerdasarkan penelitian Muthmainnah, dkk (2021), dampak psikososial bencana dibagi menjadi tiga tahap, yaitu 1) tahap tanggap darurat, 2) tahap pemulihan, dan 3) tahap rekonstruksi. Pada tahap awal yang terjadi beberapa jam atau beberapa hari setelah bencana, gejala psikis yang dialami penyintas dapat berupa kecemasan berlebihan, rasa bersalah karena penyintas berhasil selamat namun orang yang dikasihi meninggal, ketidaksabilan emosi, dan terkadang penyintas mengalami kebingungan, histeris, maupun gejala psikotik.Â
Tahap kedua, yaitu tahap pemulihan. Pada tahap ini penyintas mulai merasa aman sehingga menumbuhkan optimisme akan masa depan. Namun, bagi sebagian orang mulai muncul berbagai gejala pasca trauma seperti PTSD (post traumatic stress disorder), dan lainnya. Gejala pasca trauma yang kerap kali muncul pada penyintas tsunami dapat berupa ketakutan akan laut, histeris ketika melihat hal-hal yang berkaitan dengan tsunami dan sebagainya.
Pada tahap rekonstruksi mulai muncul pola kehidupan yang stabil. Namun, akan muncul gejala kepribadian serius pada mereka yang tidak mendapat pertolongan tepat.
After tsunami: what psychology can do?
Ada berbagai intervensi psikologis yang dapat diterapkan untuk mengurangi dampak buruk terhadap aspek psikososial pada survival bencana khususnya tsunami Aceh, diantaranya adalah:
- Teknik ekspresif, yaitu salah satu teknik yang dapat digunakan untuk penanganan psikososial pertama bencana tsunami. Teknik ini dapat menjadi wadah untuk mengekspresikan perasaan, membangun sebuah narasi baru tentang peristiwa traumatis, memulihkan rasa kontrol, mendapatkan dukungan dari orang lain, dan normalisasi gejala-gejala psikologis yang dialami. Teknik ekspresif ini dapat berupa kegiatan menggambar, playback theatre, pelepasan emosi, dan lain sebagainya.
- Konseling Cognitive Behavioral Therapy (CBT), yaitu upaya bantuan yang diberikan kepada penyintas tsunami dengan cara mengubah keyakinan maladaptif mereka seperti pikiran merasa hancur, tidak bisa bangkit, tidak punya harapan masa depan pasca tsunami dengan cara mengajak mereka melawan pemikiran tersebut melalui pengembangan CBT (Rimayati, 2019).
- Acceptance and Commitment Therapy (ACT), merupakan terapi behavioral yang dibuat oleh Hayes pada tahun 1986. ACT memiliki tujuan untuk merubah kehidupan yang tanpa harapan menjadi kehidupan kaya makna dengan cara menerima segala rasa sakit yang menyertainya.
Tindakan psikologis menjadi penting untuk mengatasi dampak traumatis pasca-tsunami Aceh 2004 maupun bencana lainnya. Intervensi psikologis yang tepat adalah kunci untuk membantu orang-orang yang selamat dapat pulih dan membangun kembali kehidupan mereka. Dukungan emosional, konseling, dan perhatian terhadap resiliensi individu dan masyarakat memainkan peran penting dalam proses pemulihan jangka panjang. Kesadaran akan kebutuhan psikologis ini menjadi kunci dalam upaya menyeluruh untuk membangun kembali komunitas pasca-bencana.
Referensi
Gray, B., Eaton, J., Christy, J., Duncan, J., Hanna, F., & Kasi, S. (2021). A proactive approach: Examples for integrating disaster risk reduction and mental health and psychosocial support programming. International journal of disaster risk reduction, 54, 102051.
Muthmainnah, M., Djafar, S., Suryani, A., Indriani, D., Mursyid, I., & Irmayanti, I. (2021). Gerakan cipta relawan tangguh sadar psikososial pasca bencana. Maspul Journal of Community Empowerment, 3(2), 30-41.
Natawidjaja, D. H. (2015). Siklus mega-tsunami di wilayah Aceh-Andaman dalam konteks sejarah. RISET Geologi dan Pertambangan, 25(1), 49-62.