Oleh: Shakila Aulia Zahra
“.......We all deserve better choices than that [sic] currently provided in our regime based on celebrity politics”. (West and Orman 2002, 119).
Pemilu tahun 2019 merupakan pesta politik terbesar di Indonesia dan dilakukan secara serentak hampir diseluruh wilayah Indonesia untuk yang pertama kalinya. Menurut BBC.com (2019), tingkat partisipan masyarakat terhadap pemilu tahun 2019 mengalami kenaikan sebanyak 193 juta orang sebagai pemilih dengan nilai kenaikkan sebanyak 2,4 juta orang dari pemilu sebelumnya. Hal ini dapat memberikan kesimpulan bahwa masyarakat Indonesia mulai bersikap peduli dan kian melek dengan perubahan birokrasi di Indonesia. Namun, di tengah meningkatnya angka parliamentary threshold, terdapat hal yang menarik di dalam pemilu tahun 2019 tersebut. Jika kita perhatikan dengan seksama, banyak wajah – wajah baru yang menghiasi dan ikut menyemarakkan kontestasi lima tahunan ini. Ya, banyak partai politik yang nampaknya berlomba – lomba untuk menghadirkan para selebriti untuk menjadi kader di dalam partai politiknya masing – masing. Inilah yang biasa disebut sebagai celebrity culture.
Setali tiga uang dengan pemilu pada tahun 2019, pilkada tahun 2020 yang dilaksanakan serentak di 270 daerah di Indonesia juga diwarnai dengan kader – kader yang berasal dari selebriti. Salah satunya yang terpampang dengan jelas dan nyata dalam sebuah reklame besar di pinggir jalan adalah foto dari Giring Nidji. Selebriti yang juga merupakan salah satu anggota dari Partai Solidaritas Indonesia turut menuai buah bibir ditengah masyarakat karena didalam reklame besar tersebut ditulis secara jelas “Giring Nidji untuk Presiden 2024”. Lalu, apakah fenomena celebrity culture dalam birokrasi Indonesia ini merupakan fenomena yang baru atau sudah lama terjadi?
Banyak perubahan yang telah terjadi pada politik Indonesia pasca Orde Baru. Keterlibatan individu dalam politik semakin terasa. Dalam paper Wasisto Raharjo Jati “Politik Selebritas Elaborasi Teoritik Terhadap Model Kampanye Baru”(2014), publik semakin sadar untuk ikut mengubah tatanan negara menjadi lebih pasca rezim otoritarian dalam masa orde baru sehingga definisi kampanye mengalami suatu perubahan yang mulanya hanyalah sebuah ideologis dengan pesan abstrak namun mengalami pergeseran menjadi sebuah aksi nyata dan tindakan riil serta pendekatan dengan media. Hal ini memicu munculnya sebuah strategi untuk menciptakan sosok figure yang dapat menjembatani antara politisi dengan publik salah satunya adalah sosok selebriti yang selama ini selalu bermunculan di bermacam- macam media. Sosok selebriti menjadi sosok yang perlu digali potensi untuk meraih suara dalam dunia perpolitikan praktis. Tidak mengherankan jika banyak partai politik berlomba – lomba untuk memperebutkan dalam meraih elektabilitas dengan angka yang tinggi melalui massa yang diciptakan dari sosok selebriti tersebut. Studi terkait politik selebriti ini sebenarnya sudah lama berkembang misalnya saja yang tercantum pada tulisan evolusi dan dampak dari celebrity politics yang berkembang di USA oleh West dan Orman (2003) yang menggambarkan bahwa terdapat dua argumen yaitu pro dan kontra akibat fenomena celebrity politics ini. Di Indonesia sendiri, fenomena ini juga pernah terjadi pada pemilu tahun 2004 yang melibatkan selebriti sebagai caleg dari 13 partai politik dengan jumlah caleg selebriti mencapai 38 orang. Pada pemilu tahun 2009, sebanyak 11 partai politik menampilkan wajah selebriti dalam daftar caleg mereka dengan jumlah caleg selebriti mencapai angka 61 orang dan pada pemilu tahun 2014 mengalami penurunan menjadi 10 partai politik saja yang menggaet selebriti sebagai caleg mereka namun jumlah caleg selebriti mencapai 77 orang. Hal ini bisa disimpulkan bahwa sebenarnya jumlah keseluruhan caleg yang berasal dari kalangan selebriti justru mengalami kenaikkan walaupun dilihat dari sisi jumlah partai politiknya mengalami penurunan. Adapun konsep terkait hubungan antara selebriti dengan politik adalah sebagai proses endorsement untuk menarik calon pemilih. Sikap dan persepsi calon pemilih terhadap kredibilitas calon yang dipilih akan dipengaruhi oleh Endorsement selebriti (Morin, et al :2012). Sebagai contoh dapat dilihat pada pemilu yang terjadi di USA pada tahun 2008. Saat itu Barack Obama belum dikenal luas oleh warga USA, namun atas bantuan dari endorsement celebrity oleh Oprah Winfrey mampu mempengaruhi suara dan popularitas serta kredibilitas warga USA terhadap Barack Obama. Selain endorsement celebrity, terdapat pula yang disebut sebagai celebrity politician, mereka adalah para politisi yang memiliki latar belakang dalam dunia entertainment. Bagi partai politik, kehadiran selebriti untuk bergabung menjadi kader mereka dinilai menguntungkan karena akan membangun public face yang tentunya akan memainkan peran penting dalam menjual agar menjadi calon terpilih di tengah – tengah masyarakat.
Lalu apakah benar bahwa partai politik menggaet selebriti untuk mendongkrak suara pemilih? Tentu saja jawabannya iya. Dalam pertarungan pemilu, banyak partai politik yang berusaha untuk mengambil selebriti demi untuk mendulang banyak suara dan citra dari partai itu sendiri akan turut meningkat di mata publik. Para partai politik percaya bahwa figur terkenal justru menjadi faktor utama dan penting untuk menentukan pilihan dari pemilih. Secara logika, hal ini bisa saja dibenarkan karena biasanya pemilih akan memilih calon yang sering tampil di berbagai media terutama yang telah eksis sejak lama. Namun, apakah selebriti sudah pasti dilirik oleh masyarakat? Maka jawaban yang tepat adalah belum tentu. Terdapat beberapa alasan yang mendukung bahwa selebriti tidak selamanya menaikkan elektabilitas parpol. Pertama, Banyak masyarakat yang beranggapan bahwa selebriti hanya diangkat begitu saja semata- mata oleh partai politik sehingga kebanyakan dari selebriti tersebut tidak tahu menahu bagaimana karakteristik di daerah pemilihannya serta seakan – akan tidak ada jaminan yang pasti selebriti tersebut dapat memberikan solusi dari permasalahan bagi masyarakat daerah pemilihannya. Kedua, pada pemilu tahun 2019, tingkat partisipasi masyarakat terhadap politik kian meningkat sehingga menyebabkan banyak masyarakat yang mulai mencari dan mengamati lebih dahulu mana yang pantas untuk mereka pilih. Terakhir, sifat politik yang dinamis menyebabkan tidak semua kesempatan terpilihnya caleg dari kalangan selebritis akan terus mendulang hal yang sama. Jika suatu partai politik memberikan kesan "mengikuti" tanpa ada visi misi yang jelas tentu belum tentu selebriti yang digaet oleh partai politik tersebut dapat memenangi suara masyarakat.
Lalu, bagaimana dampak yang dirasakan akibat adanya keterlibatan selebriti dalam birokrasi Indonesia? Menurut penulis, dampak yang jauh lebih penting dirasakan adalah berkurangnya peluang bagi orang – orang yang justru lebih berkompeten dibandingan dengan kandidat lain yang hanya menang di popularitas saja. Hal ini sungguh disayangkan karena seharusnya kita sebagai masyarakat sudah sepantasnya cerdas dalam memilih mana yang harus dipilih untuk membenahi suatu roda pemerintahan menjadi lebih baik, bukan memilih hanya berdasarkan faktor “kenal” saja. Kemudian, dampak kedua adalah semakin banyaknya partai politik yang hanya berpegang pada strategi instan merekrut selebriti saat pemilu karena menurut mereka dengan menggunakan selebriti ini, biaya yang dikeluarkan tidaklah banyak dan peluang terpilihnya jauh lebih besar. Namun, jika ditelisik lebih dalam lagi, pada realitanya strategi tersebut tidaklah selalu memumpuni karena jika didasari oleh data dari survei Poltracking Institute (2014) banyak selebriti yang justru tidak dipilih oleh masyarakat. Hal ini mungkin diakibatkan oleh faktor pemahaman yang ada di tengah – tengah masyarakat bahwa selebriti hanya bermodalkan popularitas.
Pada dasarnya, setiap warga negara Indonesia berhak untuk turut andil dalam menyalurkan hasrat politiknya untuk menjadi caleg tidak terkecuali dari kalangan selebriti sekalipun sehingga perlu diapresiasi untuk para selebriti yang berani masuk ke dalam dunia politik. Namun begitu, dunia politik bukanlah dunia entertainment. Kedua dunia tersebut memiliki perbedaan yang cukup signifikan tentunya sehingga para selebriti tidak bisa serta merta untuk mendulang suara masyarakat hanya dengan bermodalkan popularitas yang dimiliki. Perlunya adanya pemikiran matang yang disertai dengan visi dan misi jika ingin menawarkan diri pada suatu parpol. Selain itu, untuk masyarakat sebagai calon pemilih juga tidak bisa hanya didasari oleh faktor "kenal" semata. Masyarakat harus mampu memahami dan mencari tahu lebih jauh mana yang pantas untuk dipilih.
Selain itu, partai politik juga tidak serta – merta hanya mengusung calonnya tanpa ada seleksi terlebih dahulu. Peran partai politik dalam melakukan kaderisasi haruslah penting untuk dilakukan dengan menerapkan pendidikan politik yang memadai bagi para calon. Kalaupun yang diangkat adalah dari kalangan selebriti, partai politik perlu melakukan sebuah upaya untuk meningkatkan kapabilitas sehingga selebriti yang diajukan tersebut tidaklah bertumpu pada popularitas semata. Jika kita amati dengan seksama, fenomena ini menggambarkan bahwa partai politik kita saat ini seakan-akan lupa apa yang sedang mereka bangun, mereka lupa bahwa negara jauh lebih membutuhkan manusia yang berkompeten untuk mensejahterakan rakyat bukan hanya yang wara – wiri di layar kaca.
Daftar Pustaka