Oleh : Anisya Orchianne Hasan
Hari Ini, Kita Memperingati Hari Kartini
Sejak dini, setidaknya saat duduk di bangku sekolah dasar, kita sudah dikenalkan dengan sosok R.A. Kartini melalui berbagai media. Figurnya sangat tidak asing di telinga dengan adanya pelajaran sejarah, festival hari besar, dan nyanyian lagu "Ibu Kita Kartini" ciptaan W.R. Supratman saat pelajaran seni budaya.Â
Semangatnya tidak padam saat diharuskan berhenti sekolah tetap membuat Kartini punya mimpi besar dalam menaikkan derajat perempuan pribumi. Hal ini yang membuat sosok Kartini layak untuk mendapatkan apresiasi dan terus diingat dalam sejarah Indonesia, khususnya sejarah pergerakan perempuan dan perannya dalam mewujudkan kesetaraan gender di tanah air.Â
Sebagai bentuk penghargaan bagi Kartini, kita harus melanjutkan perjuangan beliau dari waktu ke waktu. Muncul sejumlah pertanyaan di benak kita untuk mewujudkannya. Misalnya, bagaimana perjuangan kaum perempuan saat ini dan apakah perjuangan menuju kesetaraan gender masih relevan, mengingat banyaknya perubahan yang sudah terjadi seiring usia perjuangannya sudah lebih dari 100 tahun.
Pandemi yang Ikut Menerkam Kesejahteraan Perempuan
Peringatan Hari Kartini tahun ini masih dibayang-bayangi pandemi COVID-19 yang sangat luar biasa dampaknya dalam memengaruhi kehidupan kita sehari-hari. Banyak aspek yang dapat kita lihat untuk mengabarkan kondisi kesejahteraan perempuan saat ini. Untuk memulai, kita harus paham bahwa COVID-19 berpotensi mempertaruhkan pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan bagi perempuan dan anak perempuan di Indonesia (SDGs).
Pandemi COVID-19 membawa konsekuensi yang sangat besar bagi perempuan. Menjadi tenaga kesehatan yang berjaga di garda terdepan, mengambil alih tulang punggung keluarga karena adanya guncangan ekonomi, dan memikul beban pekerjaan rumah tangga yang lebih berat adalah beberapa konsekuensi yang hadir akibat pandemi. Kemudian, perempuan juga kehilangan ruang dan waktu untuk dirinya sendiri karena adanya pembatasan sosial yang memaksa kita untuk tetap berada satu rumah dengan anggota keluarga yang lain. Hal-hal ini dibahas tuntas melalui pengumpulan data oleh UN Women melalui survei "Menilai Dampak COVID-19 Terhadap Gender dan Pencapaian SDGs di Indonesia".
Analisis data tentang kesehatan mental menunjukkan gambaran bahwa perempuan secara tidak proporsional lebih mungkin mengalami peningkatan stres dan kecemasan sejak penyebaran COVID-19. Beban mengurus anggota keluarga yang sakit tentu menambah beban pekerjaan rumah tangga bagi perempuan. Hal ini terbukti karena 57% perempuan menilai kesehatan mentalnya terpengaruh semenjak adanya pandemi COVID-19.Â
Di samping itu, kecemasan terhadap guncangan ekonomi dan kehilangan pendapatan memberikan kontribusi dalam peningkatan stres. Beban-beban pekerjaan lainnya yang tidak dibayar---pekerjaan rumah tangga dan mengasuh sekaligus mendidik---memang cenderung dilimpahkan kepada anggota keluarga perempuan. Belum lagi ditambah dengan adanya sekolah daring yang membuat tanggung jawab mendidik dilimpahkan kepada orang tua. Â
Perjuangan pada hak-hak perempuan menjadi tidak terlindungi selama pandemi. Hal ini dijelaskan melalui hasil penilaian survei pada poin ke-3 SDGs, kesehatan dan kesejahteraan, bahwa kekerasan terhadap perempuan mengalami peningkatan pada masa ini. Komnas Perempuan melaporkan bahwa KDRT menjadi kasus yang kekerasan yang paling banyak dilaporkan. Terdapat 319 kasus kekerasan yang telah dilaporkan semasa pandemi.Â