Pelecehan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan dengan aman dan optimal. Banyak sekali jenis dari pelecehan seksual, bahkan kadang kita tidak menyadari bahwa hal tersebut merupakan pelecehan seksual. Beberapa tindakan tersebut antara lain, menyampaikan ujaran yang mendiskriminasi/ melecehkan tampilan fisik, kondisi tubuh, atau identitas gender, memperlihatkan alat kelamin dengan sengaja tanpa persetujuan, menyampaikan rayuan, lelucon, siulan yang bernuansa seksual, menatap korban dengan nuansa seksual, mengunggah foto tubuh dan informasi pribadi korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan, dan masih banyak lagi.
Menurut data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia (KemenPPPA), pada tahun 2024, belum genap setahun ternyata sudah ada 8,34% anak laki-laki berusia 13-17 tahun dan 8,82% anak perempuan dengan usia yang sama yang mengalami kekerasan seksual di Indonesia. Kasus ini justru mengalami peningkatan terutama pada laki-laki yang cukup signifikan dibandingkan tahun lalu yang hanya 3,65%. Sedangkan kejadian kekerasan seksual di dunia, prevalensi kekerasan seksual pada perempuan mencapai 82% yang sebelumnya 81% dan pada laki-laki justru menurun menjadi 42% yang sebelumnya 43% dari survey pada 3.383 orang dewasa di seluruh dunia.
Akhir-akhir ini kita dikejutkan oleh berita kekerasan seksual yang dialami oleh 43 santri di Agam yang membuat para korban menjadi trauma mendalam dan stigma. Pondok pesantren yang seharusnya menjadi tempat yang aman bagi para santri dan santriwati untuk mendalami ilmu agama malah menjadi kesempatan bagi manusia bejat untuk menyalurkan nafsu seksual perseorangan. Lalu, di mana lagi kita bisa mencari tempat yang aman kalau tempat pendalaman ilmu agama saja bisa menjadi salah satu tempat yang beresiko terjadinya kekerasan seksual? Pentingnya kita mengetahui edukasi seksual yang saat ini di Indonesia masih menimbulkan persepsi negatif. Di mana edukasi seksual dianggap pembahasan mengenai hal-hal yang tabu dan kurang pantas disampaikan ke anak-anak. Padahal, apabila hal ini digencarkan akan meningkatkan kewaspadaan di kalangan anak-anak yang bisa menurunkan prevalensi kekerasan seksual di Indonesia.
Sejak pandemi Covid-19, pemerintah melalui DPR RI didesak oleh rakyat untuk segera mengesahkan RUU TPKS (Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual) menjadi Undang-Undang yang berlaku. Akhirnya pada tanggal 12 April 2022, DPR mengesahkan RUU TPKS menjadi UU PKS yang mengatur tentang kekerasan seksual di Indonesia. Beberapa kelebihan dari UU PKS ini antara lain adanya peran lembaga dalam pendampingan korban kekerasan seksual, pendanaan bagi korban kekerasan seksual, prioritas pada kondisi mental korban kekerasan seksual, dan perlindungan terhadap keluarga dan saksi korban kekerasan seksual. Selain itu, berdasarkan undang - undang di Indonesia, pelaku kekerasan seksual dapat dijatuhi hukuman penjara dan denda. Misalnya, dalam kasus kekerasan seksual berat, hukuman bisa mencapai 12 hingga 15 tahun penjara atau lebih, tergantung dari beratnya tindak pidana. Selain pidana penjara, pelaku juga dapat diwajibkan membayar denda atau restitusi sebagai bentuk sanksi tambahan. Hak-hak tertentu bisa dicabut, seperti hak untuk bekerja di sektor tertentu atau hak-hak sipil lainnya. Pelaku dapat diwajibkan untuk menjalani rehabilitasi. Identitas pelaku juga bisa diumumkan di media, yang biasanya bertujuan untuk memberikan efek jera serta peringatan bagi masyarakat. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk dapat memerangi pelecehan seksual dan menganggap bahwa pelecehan seksual bukan merupakan hal yang sepele. Dengan begitu, kasus pelecehan ataupun kekerasan seksual, terutama di Indonesia, akan berkurang jauh.
Alasan Tingginya Angka Pelecehan dan Kekerasan Seksual di Masyarakat
Pelecehan seksual di Indonesia merupakan fenomena sosial yang kompleks, yang dipengaruhi oleh berbagai faktor struktural dan budaya. Latar belakang masyarakat Indonesia yang beragam, dengan predominasi nilai-nilai patriarki, menciptakan suatu lingkungan di mana pembicaraan mengenai seksualitas seringkali dihindari. Stigma yang melekat pada topik ini berdampak pada kurangnya pemahaman mengenai hak-hak individu dan pentingnya konsensus dalam hubungan intim. Selain itu, kondisi pendidikan seksual di Indonesia masih tergolong minim. Meskipun ada beberapa inisiatif untuk memasukkan pendidikan seksual dalam kurikulum, sering kali materi yang disajikan bersifat normatif dan tidak mencakup aspek kesehatan reproduksi yang komprehensif. Akibatnya, masyarakat rentan terhadap ketidakpahaman mengenai batasan seksual yang sehat, yang pada gilirannya memperburuk situasi pelecehan seksual. Sekalipun terdapat hukuman bagi pelaku kekerasan seksual, baik dalam bentuk pidana maupun normatif, sering kali tidak memberikan efek jera yang signifikan. Meskipun adanya regulasi yang ketat, seperti UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, implementasi hukum yang lemah serta stigma sosial terhadap korban seringkali menghambat upaya penegakan hukum. Proses peradilan yang berlarut-larut dan ketidakpastian mengenai keadilan menjadikan banyak korban enggan melaporkan tindakan kekerasan yang mereka alami. Selain itu, kebijakan hukuman kebiri seksual yang diterapkan dalam beberapa kasus, meskipun dirancang untuk memberikan efek jera, sering kali dipandang sebagai solusi yang dangkal dan tidak menyentuh akar permasalahan. Pendekatan yang lebih komprehensif, termasuk peningkatan akses pendidikan seksual yang berkelanjutan dan perubahan norma sosial, diperlukan untuk menciptakan lingkungan yang lebih aman dan inklusif bagi semua individu, serta mengurangi angka kekerasan seksual di masyarakat.
Siapa Saja yang Beresiko Terkena Pelecehan dan Kekerasan Seksual
Menurut data yang dilansir oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia melalui SIMFONI PPA (Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak), terhitung sejak 1 Januari 2024, terdapat 8,938 kasus kekerasan seksual. Di Indonesia, siapa saja bisa menjadi korban pelecehan dan kekerasan seksual; tak ada seorang pun yang terkecualikan.
Tindakan keji ini dapat terjadi pada siapa pun, terlepas dari latar belakang pendidikan, jenis kelamin, usia, dan orientasi seksual. Namun, terdapat beberapa kelompok yang lebih rentan. Menurut catatan Tahunan Komnas Perempuan Tahun 2023, berdasarkan bentuk kekerasan, pada lembaga layanan didominasi oleh kekerasan seksual sebesar 2,363 atau 34,80% dan mayoritas korban adalah perempuan dengan usia 25-40 tahun dengan mencapai 1,918 kasus, baik di lingkungan domestik maupun publik. Tak hanya perempuan, anak-anak pun seringkali menjadi korban kekerasan seksual. Laporan dari Komnas Perempuan menunjukkan tingginya angka kekerasan terhadap anak-anak, baik perempuan maupun laki-laki, terutama di lingkungan keluarga, sekolah, atau institusi. Mahasiswa dan pelajar sering menjadi korban kekerasan seksual, baik di lingkungan kampus maupun di luar. Untuk ranah pendidikan, mayoritas kasus yang dilaporkan dan diadukan memiliki latar belakang SMA, sebanyak 1,721 kasus, dan Perguruan Tinggi sebanyak 892 kasus. Pada ranah publik atau umum, kasus kekerasan terhadap kelompok imigran atau pengungsi, terutama mereka yang bekerja di luar negeri, rentan terhadap kekerasan seksual. Situasi ekonomi dan ketergantungan terhadap majikan membuat mereka sulit untuk melaporkan kasus pelecehan, kekerasan terhadap perempuan pekerja migran Indonesia adalah sebanyak 257 kasus.
Meskipun data mengenai kekerasan seksual didominasi oleh perempuan dengan mayoritas pelaku adalah laki-laki, kekerasan seksual terhadap laki-laki merupakan hal yang nyata namun diabaikan. Laki-laki, terutama anak laki - laki, seringkali menjadi korban kekerasan seksual. Menurut laporan Studi Kuantitatif Barometer Kesetaraan Gender yang dirilis oleh Indonesia Judicial Research Society (IJRS) dan INFID pada tahun 2020, 33% laki-laki mengalami kekerasan seksual, terutama dalam bentuk pelecehan seksual. Survei yang dilakukan oleh Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) dengan melibatkan 62.224 responden menemukan bahwa 1 dari 10 laki-laki pernah menjadi korban pelecehan di ruang publik. Sementara itu, data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukkan bahwa pada tahun 2018, kekerasan seksual lebih banyak dialami oleh anak laki-laki, dengan 60% korban adalah anak laki - laki dan 40% anak perempuan. Meskipun peluang perempuan lebih tinggi untuk mengalami kekerasan seksual, laki-laki pun dapat menjadi korban kekerasan seksual.
Kekerasan seksual di ruang-ruang keagamaan di Indonesia turut menjadi sesuatu yang perlu diperhatikan dengan meningkatnya kasus-kasus setiap tahun. Ironisnya, agama dan institusi pendidikan berbasis agama bukanlah tempat dan ruang yang steril dari tindak kekerasan, salah satunya adalah kekerasan seksual. Kasus kekerasan seksual terhadap 13 santriwati pada suatu institusi pendidikan berbasis agama, yang terjadi pada 2021, telah menjadi sorotan publik. Pelaku telah memperkosa 13 santriwati dan pada akhirnya pelaku pun dituntut dengan hukuman mati. Kasus-kasus seperti ini seringkali terabaikan, sembunyi, dan tidak terdengar dikarenakan adanya stigma serta tekanan sosial akan rusaknya reputasi suatu lembaga. Dengan adanya power imbalance, para pelaku dengan posisi otoriter, seperti ustadz, pastor, dan guru, dapat memanfaatkan posisi mereka untuk melakukan tindakan kekerasan seksual. Tak hanya itu, stigma negatif yang kuat terhadap korban kekerasan seksual pun dapat menyebabkan korban enggan untuk melaporkan dan mengadu mengenai kasus kekerasan yang telah dialami. Hukum di Indonesia memang mencakup perlindungan terhadap korban kekerasan seksual, tetapi dalam konteks keagamaan, proses hukum seringkali terhambat oleh tekanan sosial dan budaya.
Dampak Pelecehan dan Kekerasan Seksual
Pelecehan dan kekerasan seksual memiliki dampak yang sangat luas, mencakup aspek fisik, psikis, sosial, hingga mempengaruhi ekonomi dan politik melalui mobilisasi massa seperti demonstrasi. Korban pelecehan dan kekerasan seksual sering mengalami berbagai masalah fisik yang dapat muncul langsung maupun berkembang seiring waktu. Efek fisik yang umum termasuk nyeri kronis, komplikasi ginekologis, penyakit menular seksual (seperti HIV dan hepatitis), serta masalah kesehatan kronis lainnya. Selain itu, korban cenderung mengalami disabilitas fisik atau sering harus berkunjung ke dokter karena kondisi kesehatan yang memburuk. Secara psikologis, korban kekerasan seksual sering mengalami trauma mendalam seperti gangguan stres pasca-trauma (PTSD), depresi, gangguan kecemasan, dan bahkan dorongan untuk menyakiti diri atau bunuh diri. Trauma psikis ini tidak hanya menyebabkan gangguan mental tetapi juga dapat memicu perilaku berisiko seperti penyalahgunaan obat atau alkohol.
Kekerasan seksual juga berdampak signifikan terhadap kehidupan sosial korban. Korban seringkali mengalami isolasi sosial, kesulitan mempercayai orang lain, dan ketakutan dalam menjalin hubungan intim. Lebih luas lagi pandangan masyarakat yang cenderung menyalahkan korban atau melabeli mereka dapat memperburuk stigma sosial yang dihadapi. Korban sering menghadapi kehilangan kesempatan kerja atau disabilitas yang mengurangi produktivitas, sehingga menambah beban ekonomi. Pelecehan dan kekerasan seksual juga dapat memicu gerakan sosial dan politik seperti demonstrasi untuk mendesak perubahan kebijakan. Di Indonesia, demonstrasi besar sering terjadi untuk mendukung Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS), yang menuntut kebijakan lebih tegas dalam melindungi korban dan menghukum pelaku kekerasan seksual. Pelecehan dan kekerasan seksual tidak hanya berdampak langsung pada individu korban, tetapi juga membawa dampak luas pada masyarakat dan memerlukan penanganan komprehensif untuk memitigasi efek jangka panjangnya.
Solusi yang Bisa Dilakukan Bagi Korban
Korban pelecehan sering kali mengalami dampak yang signifikan secara kebiasaan, fisik, dan psikis. Dari segi kebiasaan, korban perlu didorong untuk kembali menjalani rutinitas harian secara bertahap dengan dukungan dari orang-orang terdekat, tanpa paksaan. Secara fisik, penting bagi korban untuk segera mendapatkan perawatan medis jika ada luka atau cedera dan menjaga kesehatan tubuh melalui aktivitas fisik ringan. Dari aspek psikologis, trauma yang dialami bisa sangat mendalam, sehingga korban disarankan untuk mencari bantuan profesional seperti psikolog atau konselor, sementara orang terdekat perlu memberikan dukungan emosional tanpa menghakimi. Jika terjadi dalam lingkup kampus, Korban perlu didorong untuk melaporkan kasus pelecehan kepada satgas pelecehan atma jaya agar bisa mendapatkan perlindungan hukum, keadilan, serta bantuan lebih lanjut. Melaporkan kejadian tersebut juga akan membantu mencegah pelaku melakukan tindakan yang sama kepada orang lain.
Pandangan Kastrat FKIK-UAJ
Selaku bidang Kajian Strategis SM FKIK-UAJ, pendapat yang bisa kami berikan :
1. Mendukung korban untuk melakukan pengaduan yang bersifat global ke nomor 110 (Komnas HAM) atau melalui pesan dengan nomor 081226798880.
2. Mendukung korban melakukan pengaduan internal kampus, melalui Satgas PPKS Atma Jaya. Pelaksanaan tindak lanjut, harus didukung dengan sifat independensi, melindungi identitas korban dan saksi, dan terpenuhinya hak korban dalam pemulihan pasca terjadinya pelecehan seksual.
3. Mendukung untuk dilaksanakannya edukasi mengenai pelecehan seksual sesuai dengan Pedoman Pelaksanaan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nomor 30 Th. 2021 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.
4. Mendukung adanya kampanye anti kekerasan seksual di wilayah kampus FKIK UAJ dengan menyebarkan poster dan media edukasi lain melalui media cetak ataupun secara daring
SUMBER :
1. KemenPPA. SIMFONI-PPA [Internet]. kekerasan.kemenpppa.go.id. 2023. Available from: https://kekerasan.kemenpppa.go.id/ringkasan
2. UU No. 12 Tahun 2022 [Internet]. Database Peraturan | JDIH BPK. Available from: https://peraturan.bpk.go.id/Details/207944/uu-no-12-tahun-2022
3. 21 Jenis Kekerasan Seksual - Merdeka Dari Kekerasan [Internet]. Merdeka Dari Kekerasan. 2022. Available from: https://merdekadarikekerasan.kemdikbud.go.id/ppks/21jenis-kekerasan-seksual/
4. Kekerasan Seksual - Merdeka Dari Kekerasan [Internet]. Merdeka Dari Kekerasan. 2022. Available from: https://merdekadarikekerasan.kemdikbud.go.id/ppks/kekerasan-seksual/
5. Dewi AP. KemenPPPA: Prevalensi kekerasan terhadap anak 2024 naik dibanding 2021 [Internet]. Antara News. ANTARA; 2024 [cited 2024 Oct 19]. Available from: https://www.antaranews.com/berita/4382610/kemenpppa-prevalensi-kekerasan-terhadap-anak-2024-naik-dibanding-2021
6. Mary Whitfill Roeloffs. Study Finds No Change In Sexual Assault, Harassment Prevalence Since #MeToo Movement Began. Forbes [Internet]. 2024 Sep 17; Available from: https://www.forbes.com/sites/maryroeloffs/2024/09/16/study-finds-no-change-in-sexual-assault-harassment-prevalence-since-metoo-movement-began/
7. Rachmawati. Menyoal Kasus Dugaan Kekerasan Seksual 43 Santri di Agam, 2 Guru Ditangkap, Korban Alami Trauma dan Stigma [Internet]. KOMPAS.com. Kompas.com; 2024 [cited 2024 Oct 19]. Available from: https://regional.kompas.com/read/2024/08/03/065600778/menyoal-kasus-dugaan-kekerasan-seksual-43-santri-di-agam-2-guru-ditangkap?utm_source=Various&utm_medium=Referral&utm_campaign=Top _Desktop
8. Supit, E., Pantow, A., Karamoy, P., Husen, M., Aditama, Y., Kasenda, R., Studi, P., Konseling, B., Pendidikan, I., & Psikologi, D. (2023). Kurangnya Sex Education Karena Persepsi-Persepsi Negatif Di Lingkup Masyarakat. Jurnal Pendidikan Mandala, 8(1). http://ejournal.mandalanursa.org/index.php/JJUPE/index
9. Hestianingsih. Akhirnya Disahkan, Ini Manfaat RUU TPKS untuk Para Wanita [Internet]. wolipop. Available from: https://wolipop.detik.com/love/d-6031053/akhirnya-disahkan-ini-manfaat-ruu-tpks-untuk-para-wanita
10. Menteri PPPA Tinjau Anak Korban Kekerasan Fisik dan Anak Korban Kekerasan Seksual di Makassar [Internet]. SIMFONI PPA. 2024 [cited 2024 Oct 14]. https://kemenpppa.go.id/page/view/NTQ0Ng==
11. SIMFONI PPA (Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak) [Internet]. SIMFONI PPA. 2024 [cited 2024 Oct 7]. Available from: https://kekerasan.kemenpppa.go.id/ringkasan
12. Momentum Perubahan: Peluang Penguatan Sistem Penyikapan di Tengah Peningkatan Kompleksitas Kekerasan terhadap Perempuan [Internet]. Catatan Tahunan Komnas Perempuan Tahun 2023 . 2023 [cited 2024 Oct 7]. Available from: https://komnasperempuan.go.id/download-file/1085
13. INFID TP. Laporan Studi Kuantitatif Barometer Kesetaraan Gender. Jakarta: Infid. 2020.
14. Kpai: Kekerasan Seksual Anak Laki-Laki Meningkat [Internet]. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). 2018 [cited 2024 Oct 7]. Available from: https://www.kpai.go.id/publikasi/kpai-kekerasan-seksual-anak-laki-laki meningkat
15. Permendikbudriset No. 30 Tahun 2021 [Internet]. Database Peraturan | JDIH BPK. Available from: https://peraturan.bpk.go.id/Details/188450/permendikbud-no-30-tahun-2021 Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H