Harari (2015) menyatakan dalam Homo Deus bahwa tiga agenda teratas umat manusia—peperangan, wabah, dan kelaparan—masih akan tetap berada pada posisi yang sama, setidaknya hingga beberapa dekade ke depan. Dengan segala pencapaian yang diraih melalui dinamika ruwet antara kemajuan ilmiah, intrik politik, dan mekanisme pasar.
Umat manusia telah mencapai era saat setiap orang lebih mungkin untuk mengalami kematian akibat kesalahannya sendiri daripada ditembak prajurit negara tetangga, penyakit yang menjangkiti puluhan juta manusia, dan krisis pangan akibat hama yang tidak dapat diatasi.
Hingga detik ini umat manusia sedang berperang dengan virus SARS-nCov-2 dan terhitung telah terdapat 6,714,335 kasus terkonfirmasi penyakit COVID-19 (Worldometers) (5/6).
Dampak dari melakukan physical distancing untuk memperlambat pola eksponensial pertumbuhan kasus COVID-19, terdapat penurunan yang cukup signifikan pada konsumsi energi, terutama pada sub sektor transportasi dan perindustrian (WEF, 2020).
Sebagai sektor dengan kontribusi CO2 terbesar, penurunan konsumsi energi dan subsektor turunannya telah menyebabkan penurunan tingkat pencemaran udara.
Mengingat kontribusi sektor industri dan manufaktur terhadap total PDB global yang berkisar pada 25% dan 16% (World Bank, 2018) dan dampak yang dihasilkan akibat penyebaran COVID-19, patut rasanya mempertanyakan apakah perlu sebuah pandemi untuk meletakkan lingkungan sebagai prioritas? Apakah perekonomian harus selalu dikorbankan atas nama pelestarian lingkungan?
RRC: Rebound Polusi Udara?
Kebijakan pemerintah RRC memperpanjang libur nasional Tahun Baru Imlek selama 10 hari bertujuan untuk memberikan ruang gerak yang lebih leluasa bagi petugas kesehatan dan aparatur negara untuk dapat mencegah penyebaran lebih luas dari COVID-19. Sejak turunnya kebijakan tersebut, penggunaan batu bara menurun hingga 36% dibandingkan dengan periode yang sama dari tahun sebelumnya (Myllyvirta, 2020).
Hal tersebut berdampak pada penurunan sebesar 36% pada tingkat NO2 untuk seminggu pertama setelah Tahun Baru Imlek dan 25% penurunan CO2 pada empat minggu pertama setelah Tahun Baru Imlek (Myllyvirta, 2020).
Implikasi dari penurunan ini adalah kekhawatiran dari rezim komunis yang berusaha untuk mendorong kembali aktivitas perekonomian RRC yang telah mengalami moderasi sejak tahun 2019 diukur melalui PDB.