"Among the numerous luxuries of the table...coffee may be considered as one of the most valuable. It excites cheerfulness without intoxication; and the pleasing flow of spirits which it occasions...is never followed by sadness, languor or debility." -Benjamin Franklin
Mendekati akhir Juni lalu, tepatnya senin (24/6), salah satu jaringan gerai kopi terkenal asal Indonesia, 'Kopi Kenangan', memperoleh pendanaan sejumlah US$20 juta atau sekitar Rp288 milliar (kurs Rp14.400/US$ 1) dari Sequoia India.
Sebelumnya, bisnis gerai kopi yang didirikan pada 2017 oleh Edward Tirtanata dan James Prananto sempat memperoleh pendanaan awal (seed funding) dari Alpha JWC Ventures sebesar US$8 juta pada Oktober 2018. Dana yang diperoleh Kopi Kenangan akan digunakan untuk mengekspansi bisnisnya ke berbagai negara di regional Asia Tenggara.Â
Co-Founder merangkap CEO Kopi Kenangan, Edward Tirtanata, juga menyebutkan bahwa Kopi Kenangan berkeinginan untuk membuka 150 gerai baru hingga akhir 2019 dan menargetkan membuka hingga seribu gerai di seluruh Indonesia pada 2021. Hingga saat ini, gerai Kopi Kenangan memiliki delapan puluh gerai di delapan kota.Â
Kopi Kenangan mampu menjual rata-rata sejumlah satu juta cangkir kopi setiap bulannya dan meraup Rp18 miliar/bulan (asumsi penjualan kopi dengan harga termurah), meningkat pesat dari enam belas gerai dan 175.000 cangkir per bulan pada Oktober 2018.
Fenomena pendanaan awal (seed funding) kepada gerai kopi grab n go atau on-demand ini juga pernah dilakukan oleh East Ventures, SMDV, Pavilion Capital, dan lainnya kepada Fore Coffee sebesar US$9,5 juta.Â
Gerai kopi yang didirikan oleh Elisa Suteja ini merupakan salah satu gerai kopi yang peka dalam kebutuhan teknologi, terutama internet. Pendanaan ini digunakan oleh Fore Coffee untuk meningkatkan investasi mesin dan inovasi online-to-offline sebagai upaya mendorong efisiensi biaya produksi kopi.
Kedua jaringan gerai kopi di atas telah meluncurkan aplikasi mobile untuk memenuhi permintaan konsumen dengan lebih efisien. Customer kedua gerai dapat mengakses dan memesan kopi favorit dengan lebih cepat.Â
Kedua gerai kopi juga menyediakan voucher-voucher menarik di platform tersebut. Pelanggan juga memperoleh pilihan untuk take away atau pesanan dikirim sampai ke tempat yang ditentukan.Â
Di tengah berjalannya era Internet of Things, gerai kopi on-demand atau grab n go menjadi suatu konsep gerai dengan tujuan untuk memenuhi keinginan segmen konsumen yang tidak mampu menghabiskan waktunya untuk duduk dan bercengkerama di coffee shop.Â
Di sisi lain, persaingan gerai kopi di Indonesia yang relatif tinggi menuntut setiap gerai harus memiliki ciri khas tersendiri, misalnya dalam penamaan produk, estetika gerai, layanan delivery, dan lain-lain.
Keberhasilan Kopi Kenangan dan Fore Coffee tidak terlepas dari kisah sukses startup kopi on-demand asal Cina, Luckin Coffee yang mampu membuat jaringan gerai Starbucks Coffee di Cina 'gigit jari'. Didirikan Oktober 2017 oleh Qian Zhiya, Luckin Coffee berhasil memperoleh valuasi sebesar US$4 miliar per Mei 2019. Luckin Coffee menggunakan pendekatan yang berbeda dari Starbucks.Â
Starbucks merupakan gerai kopi asal Amerika Serikat yang berorientasi pada penyediaan gerai yang luas agar customer dapat nongkrong dalam waktu yang lama. Di sisi lain, Luckin Coffee memilih untuk menyediakan gerai yang kecil untuk pengiriman kopi yang dipesan pelanggan melalui aplikasi.Â
Luckin Coffee ingin customer tidak perlu repot-repot untuk memesan segelas kopi, Luckin Coffee juga memiliki strategi lain, yaitu 'buy two get one free' dan 'cashless payment'. Ekspansi gerai Luckin Coffee terbilang sangat masif.Â
Per akhir 2019, Luckin Coffee diproyeksikan memiliki 4500 gerai. Strategi-strategi yang dijalankan oleh Luckin Coffee ini berhasil menjadikannya kompetitor Starbucks dalam waktu yang singkat.
The Three Waves of Coffee
Budaya minum kopi atau 'Ngopi' merupakan kebiasaan tersendiri bagi masyarakat Indonesia. Kita tak jarang melihat orang tua kita, khususnya ayah, menyesapkan secangkir kopi panas di pagi hari seraya membaca koran di depan teras rumah.Â
Budaya 'ngopi' di Indonesia tidak akan hadir apabila Belanda tidak menjajah Indonesia. VOC membawa kopi jenis Arabika dari Malabar, India untuk dibudidayakan di Indonesia. Hal ini dilakukan oleh Belanda sebagai upaya menghentikan monopoli perdagangan kopi oleh Arab.Â
Kopi pertama kali dibudidayakan di Batavia (Jakarta) dan selanjutnya menyebar ke Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera, dan Sulawesi. Belanda sempat menjadi monopolis kopi di dunia dengan pusat produksi di Jawa sehingga satu cangkir kopi sering disebut sebagai cup of java.
Dalam melihat budaya 'ngopi' di Indonesia dan dunia, Trish Rothgeb dalam sebuah artikel di The Flamekeeper pada 2002, mengklasifikasikan perkembangan kopi dalam tiga gelombang, yaitu First Wave, Second Wave, dan Third Wave.
Dalam First Wave Coffee, pengusaha kopi memiliki visi untuk meningkatkan konsumsi kopi masyarakat dengan menghadirkannya di setiap dapur rumah masing-masing. Satori Kato berhasil mematenkan kopi instan pada 1903 dengan nama awal "Coffee Concreate and Process of Making Same". Kopi instan Nestle, yaitu Nescafe muncul sebagai merk inovatif pada 1938.Â
Di sisi lain, terdapat merek-merek terkenal lainnya seperti Folgers, Maxwell House, dan Mr. Coffee. Begitu juga dengan kopi instan asal Indonesia, layaknya Kopi Kapal Api dan Kopi Berontoseno. Berbagai inovasi pengemasan hadir seperti airtight cans dan Vacuum Packaging untuk menjaga kualitas bubuk kopi agar dapat bertahan lebih lama.Â
Pemasaran besar-besaran juga dilakukan. Namun, kualitas dan rasa belum menjadi urgensi utama. Era ini dapat disebut sebagai era untuk mendekatkan kopi dengan berbagai segmen masyarakat.
Second Wave Coffee diilhami oleh buruknya kualitas kopi yang dihasilkan pada periode pertama. Terjadi sekitar akhir 1960-an, kopi gelombang kedua memiliki kualitas yang lebih baik, tetapi pemasaran produk masih diutamakan.Â
Dengan tidak menyampingkan kualitas, maka era ini memunculkan kenikmatan dalam mengonsumsi kopi. Pada era ini, gerai coffee shop mulai bermunculan, seperti Starbucks dan Peet's.
Sehingga kopi-kopi instan mulai ditinggalkan. Peran barista juga mulai dominan. Di sisi lain, dalam menjaga kualitas kopi yang lebih baik, kopi disimpan dalam bentuk biji kopi (bukan bubuk) sebelum disajikan kepada konsumen. Apabila konsumen hendak memesan kopi, maka biji kopi akan ditumbuk dan diseduh melalui mesin espresso.
Third Wave Coffee merupakan gelombang terakhir dari perkembangan kopi (untuk saat ini) yang disertai apresiasi terhadap kopi. Pada gelombang ini, konsumen mulai menyadari bahwa kopi bukanlah sekadar komoditas untuk dikonsumsi, melainkan kopi menjadi bagian penting dari hidup setiap konsumennya.Â
Konsumen ingin mempertanyakan banyak hal dari apa jenis kopinya sampai bagaimana secangkir kopi berada di genggamannya. Kopi-kopi dengan kualitas terbaik muncul sehingga terma Specialty coffee hadir dalam dunia perkopian. Hal ini didukung dengan teknologi pertanian yang semakin baik.Â
Di sisi lain, Asher Yaron menilai bahwa kopi pada gelombang ini belumlah menjadi kopi dengan kualitas terbaik. "roast dates" memang telah hadir dalam setiap setiap kemasan specialty coffee.Â
Begitu juga masa terbaik biji kopi setelah roasting dapat diperpendek dalam bulanan menjadi mingguan. Namun, kualitas dan efek yang terbaik bagi manusia dapat diperoleh apabila biji kopi langsung diolah menjadi kopi atau Terma ini yang akan mengilhami fourth wave coffee dengan kualitas kopi terbaik dan membludaknya home roasting/fresh roasting.Â
Menurut Asher Yaron, ia menilai gelombang keempat ini telah dimulai sejak tahun 2012. Apakah memang benar-benar telah terjadi? Setiap penyuka kopi mungkin dapat menilainya sendiri.
Kopi: Potensi dan Tantangan di Indonesia
Menurut data International Coffee Organization pada tahun 2018, Indonesia merupakan negara penghasil kopi terbesar keempat di dunia setelah Brazil, Vietnam, dan Kolombia. Di Indonesia, tingkat produksi kopi jenis robusta lebih tinggi ketimbang kopi jenis arabika.Â
Hingga Mei 2018, 22 Indikasi Geografis untuk kopi Indonesia telah terdaftar, di antaranya Kopi Arabika Gayo, Kopi Arabika Toraja, dan Kopi Robusta Pupuan Bali.Â
Selain itu, berdasarkan Statistik Kopi Indonesia yang dirilis BPS tahun 2017, provinsi dengan kontribusi terhadap total produksi kopi tertinggi di Indonesia adalah Sumatera Selatan (18,11 persen), Lampung (17,44 persen), NAD (10,27 persen), Sumatera Utara (9,90 persen), dan Jawa Timur (9,73 persen).Â
Mayoritas kopi dihasilkan melalui perkebunan rakyat sebesar 95,46 persen, sisanya adalah perusahaan perkebunan swasta (2,37 persen) dan perusahaan perkebunan negara (2,17 persen).
Pada tahun 2017, Indonesia berhasil menghasilkan 666.992 ton kopi. 7,8 ribu ton di antaranya atau sekitar 70 persen dari total produksi kopi Indonesia diekspor ke luar negeri senilai US$1.187,2 juta. Negara utama tujuan ekspor kopi Indonesia adalah Amerika Serikat, yaitu sejumlah 63,3 ribu ton.Â
Di sisi lain, impor kopi yang dilakukan Indonesia terbilang relatif rendah, yaitu 14,2 ribu ton dengan nilai impor sejumlah US$33,6 juta. Indonesia banyak mengimpor kopi dari Vietnam (40,72 persen), Brazil (22,3 persen), Timor Leste (13,89 persen), dan Malaysia (13,70 persen).
Dengan tingkat ekspor yang jauh lebih tinggi ketimbang tingkat impor kopi, potensi industri kopi di Indonesia sangatlah tinggi. Status Indonesia sebagai negara penghasil kopi terbesar keempat di dunia mendukung keunggulan Indonesia dalam dunia perkopian.Â
Kembali pada tahun 2016, dalam Georgia World Congress Center, The Specialty Coffee Association of America (SCAA) menyebut Indonesia sebagai 'home of the world's finest coffee'.Â
Menurut pernyataan SCAA, Indonesia sudah jelas menjadi pemain besar dalam pasar kopi global. Namun, apakah ketahanan kopi Indonesia memang dapat dikuatkan?
Tantangan terbesar dalam memperkuat komoditas kopi Indonesia adalah kualitas. 'Arabica WIB/robusta OIB, not roasted, not decaffeinated' merupakan jenis kopi dengan kontribusi ekspor terbesar bagi Indonesia pada 2017, yaitu sebesar 97,10 persen. Jenis kopi ini memiliki rata-rata nilai ekspor sejumlah US$2.543,95/ton.Â
Di sisi lain, jenis kopi lainnya tanpa proses roasting dan not decaffeinated memiliki rata-rata nilai ekspor senilai US$2.014,21/ton. Apabila dibandingkan dengan jenis 'Coffee, roasted, not decaffeinated, ground' dengan total ekspor sebesar 2.940 ton, kelompok ini memiliki rata-rata nilai ekspor US$3.074/ton.Â
Artinya, biji kopi yang melalui proses roasting memiliki nilai yang lebih tinggi sehingga mampu meningkatkan nilai ekspor kopi Indonesia. Pemerintah perlu mendorong petani kopi untuk menghasilkan kopi dengan kualitas yang lebih unggul.
Dari sisi konsumsi kopi selama periode 2016-2017, International Coffee Organization (2018) menyebutkan Indonesia merupakan salah satu negara dengan konsumsi kopi terbesar di dunia, mencapai 4,6 juta dalam kemasan 60 kg.Â
Indonesia setingkat dengan Rusia dan berada di bawah gabungan negara-negara Eropa (Uni Eropa) yang mengonsumsi kopi sebanyak 42,6 juta dalam kemasan 60 kg, Amerika Serikat (25,8 juta), Brazil (21,2 juta), dan Jepang (7,9 juta). Data di atas seakan menunjukkan masyarakat Indonesia sangat menyukai kopi.Â
Namun, berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) BPS, tingkat konsumsi kopi per kapita Indonesia sangatlah rendah, yaitu 0,871kg/kapita/tahun pada tahun 2016.Â
Tingkat konsumsi kopi per kapita Indonesia menurun sebesar 32,93% dari tingkat konsumsi kopi per kapita Indonesia tahun 2002 yang berjumlah 1,29 kg/kapita/tahun. Berikut ini adalah negara-negara dengan tingkat konsumsi kopi per kapita tertinggi di dunia menurut WorldAtlas (2018).
ekonomi kreatif Indonesia. Progresifnya pertumbuhan gerai kopi menjadikan barista dipandang bukan hanya sebagai profesi, melainkan sebagai hobi.Â
Potensi kopi di Indonesia sangatlah besar. Gerai-gerai kopi yang menjamur di Indonesia dengan berbagai keunikan tersendiri dan harga yang variatif menjadi salah satu kunci dalam mengembangkan potensiPendanaan terhadap Kopi Kenangan dan Fore Coffee merupakan tonggak sejarah baru dalam bisnis kopi di Indonesia. Bisnis kecil yang dapat mendunia dengan kopi sebagai tokoh utama. Lalu, apakah masyarakat Indonesia akan semakin menyukai minum kopi? Entahlah.Â
Di antara banyaknya jenis dan keunikan kopi di Indonesia, es kopi susu menjadi jenis minuman yang mayoritas dijual di berbagai gerai kopi. Mengapa? Es kopi susu selalu menjadi filosofi unik, manis dan sederhana.
Referensi:
Atifi, N. (2019). 'Indonesia O2O coffee startup bags $8.5m from East Ventures, others', Techinasia, 31 Januari. (Diakses pada 1 Juli 2019).
Bernard, K. (2018) Top 10 Coffee Consuming Nations.(Diakses pada 7 Juli 2019)
Badan Pusat Statistik. (2018) 'Statistik Kopi Indonesia' [Online]. (Diakses pada 7 Juli 2019).
Blackout Coffee Co. (2013) The Three Waves of Coffee. Â (Diakses pada 2 Juli 2019).
Fauzia, M. (2019) 'Disuntik 20 Juta Dollar AS, Kopi Kenangan Tatap Asia Tenggara', Kompas, 25 Juni.(Diakses pada 1 Juli 2019)
Gumelar, G. (2019) 'Bukan Mimpi Punya Usaha Go International Serupa Kopi Kenangan', CNN Indonesia, 29 Juni. Â (Diakses pada 1 Juli 2019).
Gutierrez, N. (2016) 'Indonesian coffee is among the world's best. So why have many not tried it?' Rappler, 18 Oktober. (Diakses pada 7 Juli 2019).
Katadata. (2018) 'Indonesia Masuk Daftar Negara Konsumsi Kopi Terbesar Dunia', Katadata, 12 Desember. (Diakses pada 7 Juli 2019).
Kementerian perindustrian RI. (2018) Naik 10 Persen, Ekspor Kopi Olahan Nasional Tembus USD 469 Juta [Press Release]. (Diakses pada 7 Juli 2019).
Kementerian Pertanian RI. (2018) 'Outlook Kopi 2017', Portal Epublikasi Pertanian, 6 Juni. (Diakses pada 7 Juli 2019).
Living in Indonesia. (n.d) Coffee in Indonesia. (Diakses pada 2 Juli 2019).
Maulana, R. (2019) 'Startup Kopi on-demand, Tren Layanan Sementara atau Disrupsi bagi Pemain Lama?', Techinasia, 26 Februari. Tersedia di: (Diaksespada 1 Juli 2019).
Novryan. (2018) 'Mengintip Strategi Penjualan Online dan Offline Ala Kopi Kenangan', Job-Like Magazine, 27 Desember. (Diakses pada 1 Juli 2019).
Pusparisa, Y. (2019). 'Modal Ventura Gencar Investasi di Kedai Kopi Indonesia', Katadata, 28 Juni.(Diakses pada 1 Juli 2019).
Szenthe, A. (2019). 'Top Coffee Producing Countries', WorldAtlas, 29 Mei.(Diakses pada 7 Juli 2019).
Yaron, A. (2018) 'Coffee: The Fourth Wave', CoffeeTruther, 7 Juni. (Diakses pada 2 Juli 2019).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H