EXECUTIVE SUMMARY
Bangsa Indonesia pernah hampir mengalami Revolusi Mental di lembaran-lembaran awal setelah meraih kemerdekaan. Dalam kepemimpinan Presiden Soekarno, gagasan Revolusi Mental pertama kali tercetus sebagai semangat untuk melanjutkan revolusi pasca usainya revolusi secara fisik pada Perang Kemerdekaan. Skeptisme berbagai kalangan mengubur gagasan besar Presiden Soekarno. Setelah menunggu selama lebih dari setengah abad, Presiden Joko Widodo mengumandangkan kembali semangat 'Revolusi Mental' pada kampanye politiknya yang mengusung sembilan agenda prioritas (Nawacita).Â
Namun, hingga penghujung masa kepresidenannya, dampak konkrit program Gerakan Nasional Revolusi Mental seakan tertutupi oleh skeptisme yang kembali beredar dalam lingkungan masyarakat. Pada faktanya, dana yang digelontorkan dan outcome dari program ini memang kurang berkorelasi positif. Masyarakat masih dihadapkan dengan permasalahan yang sudah lumrah seperti tidak adanya integritas di berbagai sektor, intoleransi, politik golongan, korupsi, minimnya literasi, dan juga keinginan berdikari serta perubahan yang tidak substansial.
PENDAHULUAN
Presiden Soekarno, dalam pidatonya yang berjudul "A Year of Decision" pada tanggal 17 Agustus 1957, merupakan orang pertama yang mencetuskan istilah Revolusi Mental. Kemerdekaan Indonesia dari Belanda tidak serta merta membuat kondisi bangsa dan negara menjadi lebih baik. Presiden Soekarno menyadari bahwa saat itu, 350 tahun penjajahan Belanda telah melahirkan nilai-nilai yang terinternalisasi dalam diri manusia Indonesia. Kebodohan, kepribadian yang submissive, tidak memiliki self-esteem, dan kecenderungan untuk melakukan penyelewengan dalam administrasi negara seakan sudah melekat dalam pribadi manusia Indonesia.Â
Dari sini, Presiden Soekarno menyatakan bahwa "...tiap-tiap revolusi yang benar-benar revolusi adalah revolusi mental...". Beliau juga menyatakan bahwa setiap revolusi wajib hukumnya untuk menolak "hari kemarin", yang dapat diartikan sebagai penolakan kepada semua gaya hidup yang berseberangan dengan semangat kemajuan dan perubahan.
Gerakan Hidup Baru merupakan program yang dicetuskan untuk menjalankan Revolusi Mental dan mempromosikan perombakan cara berpikir, bekerja, dan berkehidupan. Sebagai bentuk nyata dari Gerakan Hidup Baru, aksi-aksi mulai dilancarkan oleh pemerintahan, yaitu: hidup sederhana, gerakan kebersihan dan kesehatan, pemberantasan buta huruf, penggalakkan gotong-royong, penerapan dan penekanan kedisiplinan serta efisiensi dalam industri dan administrasi pemerintahan, pembangunan rohani, dan penguatan kewaspadaan sederhana.Â
Patut disadari juga dari Gerakan Hidup Baru, Presiden Soekarno mempromosikan dan menekankan penghentian impor barang dari luar negeri. Ia memberikan apresiasi terhadap produksi lokal serta kesadaran untuk berswasembada. Lalu, kesehatan dan kebersihan juga menjadi suatu hal yang krusial bagi eksistensi negara karena kedua hal tersebut saling berhubungan dalam pengembangan kualitas hidup manusia. Sayangnya, program ini sempat dipandang sebelah mata oleh beberapa pihak dan dihentikan untuk waktu yang cukup lama.
Dalam Pemilihan Umum Presiden 2014, Presiden Joko Widodo mengumandangkan kembali agenda besar Presiden Soekarno 57 tahun sebelumnya pada sembilan agenda aksi prioritas atau Nawacita melalui program keenam, yaitu pelaksanaan revolusi karakter bangsa, atau lebih umum dikenal juga sebagai Gerakan Revolusi Mental. Integritas, etos kerja, dan gotong royong merupakan tiga nilai utama yang diusung program Revolusi Mental. Secara keseluruhan, Gerakan Revolusi Mental sendiri terdiri dari lima gerakan, yaitu Gerakan Indonesia Melayani, Gerakan Indonesia Bersih, Gerakan Indonesia Tertib, Gerakan Indonesia Mandiri, dan Gerakan Indonesia Bersatu.
Dalam pelaksanaannya, Gerakan Revolusi Mental yang digaungkan pemerintahan Presiden Joko Widodo juga mengalami hal yang kurang lebih sama dengan Gerakan Hidup Baru pada era Presiden Soekarno. Semenjak dilaksanakan dari terbitnya Instruksi Presiden No. 12 tahun 2016, progres Gerakan Revolusi Mental dapat dikatakan tergolong lambat, terutama jika dicermati dari sisi pencapaian. Berbagai pihak dan golongan menilai bahwa Gerakan Revolusi Mental tidak memiliki indikator pencapaian yang jelas dan minim sosialisasi di berbagai lini pemerintahan maupun masyarakat. Padahal, jika dilihat dari sisi anggaran, tingkat dana yang telah digelontorkan oleh pemerintah relatif tinggi.Â