Ditulis oleh
Oktavian
Memasuki era digital, perkembangan teknologi digital secara membuat adanya perubahan yang berdampak pada bagaimana cara masyarakat berkomunikasi, berinteraksi, dan bersosialisasi satu sama lain (Adhiarso, D., 2018). Teknologi pun tidak terlepas dari berbagai aktivitas kehidupan masyarakat, termasuk aktivitas seksual. Salah satu yang kerap dikaitkan dengan digitalisasi aktivitas seksual adalah sexting yaitu tindakan atau praktik pengiriman foto atau pesan seksual (sext) melalui ponsel (Oxford Dictionaries, 2021). Secara etimologis, sexting sendiri merupakan akronim atau kontraksi dari dua kata bahasa asing yaitu sex (seks) dan texting (pesan singkat). Praktik pengiriman foto atau video vulgar ini dimaksudkan untuk meningkatkan dan/atau menciptakan gairah seksualitas seseorang (Cambridge Dictionary, 2021). Namun, dalam pelaksanaanya ternyata sexting mengalami banyak masalah terutama ketika mulai masuk di Indonesia. Lantas, apa sajakah problematika tersebut?
Kegiatan sexting menurut di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi atau biasa dikenal dengan UU Pornografi. Pornografi sendiri diartikan sebagai gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat (Pasal 1 ayat (1) UU Pornografi). Dari definisi tersebut dapat dikategorikan kegiatan sexting baik foto, video, maupun teks dikategorikan pornografi apabila konten tersebut melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat (Josua Sitompul, 2018). Diatur lagi dalam dalam Pasal 4, UU Pornografi secara substantif mengatur larangan perbuatan memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat:
persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang;
kekerasan seksual;
masturbasi atau onani;
ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;
alat kelamin; atau
pornografi anak
Namun, terdapat pengecualian dalam Pasal 4 ini apabila adanya persetujuan (consent) dari kedua belah pihak untuk melakukan perekaman video dan foto. Pengecualian tersebut juga berlaku apabila pengambilan dan penyimpanan konten pornografi hanya digunakan untuk kepentingan sendiri bukan dijadikan sebagai konsumsi teman dekat apalagi publik. Secara legalitas dapat disimpulkan bahwa persetujuan adalah hal yang sangat vital dalam menentukan apakah perbuatan sexting termasuk pelanggaran atau tidak.