Ditulis oleh
Andri Dwihadi
Berdasarkan data yang diperoleh dari Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (“Komnas Perempuan”), melalui Catatan Tahunan (“CATAHU”) Komnas Perempuan Tahun 2020, sepanjang tahun 2020 terdapat kasus kekerasan terhadap perempuan sebanyak 299.911 kasus yang 90% kasusnya atau sekitar 291.677 kasus ditangani oleh Pengadilan Negeri dan/atau Pengadilan Agama. Dari banyaknya kasus tersebut, sebanyak 8.234 kasus ditangani oleh Mitra Lembaga Layanan Komnas Perempuan. Dari sejumlah kasus kekerasan yang perempuan yang ditangani oleh Mitra Lembaga Layanan Komnas Perempuan, sebesar 30% atau sebanyak 1.983 kasus merupakan kasus kekerasan seksual. (Komnas Perempuan, 2021).
Data di atas menunjukan bahwa Indonesia sedang dalam keadaan darurat kekerasan seksual, belum lagi kasus yang tidak terungkap akibat satu dan lain hal seperti ketidakmampuan korban untuk melapor ataupun akibat keterbatasan mekanisme penanganan dan pencegahan kasus kekerasan seksual. Hasil survei yang dilakukan oleh Tirto, VICE Indonesia, dan The Jakarta Post memperlihatkan bahwa dari 207 penyintas kekerasan seksual, sebanyak 174 di antaranya berhubungan dengan institusi pendidikan, yaitu perguruan tinggi (Zuhra, 2019). Lebih lanjut, Komnas Perempuan juga mencatat bahwa sepanjang tahun 2015—2020, terdapat 51 pengaduan terhadap kasus kekerasan seksual di ranah pendidikan yaitu perguruan tinggi (Madrim, 2020).
Dengan demikian, perguruan tinggi sebagai institusi pendidikan pun ternyata juga darurat kekerasan seksual ketika dihadapkan pada fakta tingginya kasus kekerasan seksual di dalam lingkup perguruan tinggi. Bahkan, terkadang jika pelaku kekerasan seksual merupakan individu yang berpengaruh di kampus maka tidak jarang pihak kampus tidak akan mengungkap kasus tersebut hanya demi akreditasi kampus. Kendati begitu, masih sedikit perguruan tinggi di Indonesia yang memiliki mekanisme penanganan dan pencegahan khusus kasus kekerasan seksual secara komperhensif yang berperspektif korban, termasuk perguruan tinggi yang katanya menyandang nama bangsa, yaitu Universitas Indonesia (“UI”).
Padahal, akhir Oktober 2021, dapat dikatakan sebagai kemenangan awal karena pada akhirnya Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi (“Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021”) resmi ditetapkan dan telah mengikat secara hukum. Nadiem makarim selaku Mendikbudristek seolah menjawab keresahan teman-teman yang selama ini memperjuangkan keadilan bagi para korban kekerasan seksual ataupun bahkan bagi mereka yang menjadi korban. Hal tersebut seharusnya menjadi pemantik bagi UI untuk turut serta membentuk peraturan internal dan crisis center terkhusus kasus kekerasan seksual yang berperspektif korban.
Selama ini, UI menggunakan tiga mekanisme dalam menangani kasus kekerasan seksualnya, yaitu melalui melalui Panitia Penyelesaian Tata Tertib (“P2T2”), Panitia Penyelesaian Pelanggaran Tata Tertib (“P3T2”), dan Sistem Pelaporan Dugaan Pelanggaran Universitas Indonesia (“SIPDUGA UI”). Namun apakah ketiga mekanisme tersebut dinilai efektif untuk menangani kasus kekerasan seksual di lingkup UI? Dikarenakan ketiga mekanisme tersebut mengatur secara umum mengenai pelanggaran-pelanggaran yang ada di UI, maka terhadap pelaku kekerasan seksual akan berpotensi untuk mendapatkan hukuman yang ringan bahkan dibebaskan. Berdasarkan data yang dihimpun oleh Bidang Advokasi HopeHelps UI melalui Ringkasan Tahunannya, terdapat sebanyak 30 laporan kasus kekerasan seksual selama Juni 2020—Mei 2021 (Hopehelps UI, 2021). Apakah ke-30 korban (atau bahkan lebih akibat adanya korban yang tidak melapor) ini mendapat keadilan? Apakah pelaporan yang telah mereka lakukan telah ditangani melalui mekanisme yang berperspektif korban? Apakah sivitas akademika UI telah memiliki ruang aman untuk melakukan pengaduan terhadap kasus kekerasan seksual?
Pada tahun 2019, terdapat Buku Saku Standar Operasional Penanganan Kasus Kekerasan Seksual di Lingkungan Kampus yang dibentuk oleh dosen yang berkolaborasi dengan beberapa organisasi dan komunitas di UI. Namun, buku saku ini tidak memiliki kekuatan hukum karena hanya bersifat buku panduan yang tidak memiliki kehendak memaksa bagi para sivitas akademika UI untuk mematuhi buku saku tersebut. Sehingga, peraturan internal UI secara tertulis tetap dibutuhkan untuk menjamin adanya kepastian hukum bagi para korban kekerasan seksual di dalam ruang lingkup UI. Peraturan internal tersebut telah diajukan dan bahkan telah dibuatkan drafnya oleh sivitas akademika UI yang concern terhadap isu kekerasan seksual ini. Namun, dari pihak UI tidak kunjung menetapkan peraturan tersebut dan justru malah menetapkan revisi Statuta UI yang dinilai bermasalah baik secara formil maupun materiil. Tidak hanya peraturan tertulis, pihak UI juga seharusnya mendirikan crisis center yang diintegrasikan sebagai tempat satu pintu untuk pengaduan, penanganan, perlindungan, pendampingan, dan pemulihan korban dalam kasus kekerasan seksual.
Sebagaimana teori three-legged stool yang dikemukakan oleh Diane Rosefeld, terdapat tiga komponen yang perlu dihadirkan kampus terkait kekerasan seksual, yakni sebagai penyedia pencegahan, penanggapan, dan resolusi bagi korban kekerasan seksual dalam kampus. Ibarat kursi dengan tiga kaki, apabila salah satu dari komponen ini tidak terpenuhi, kampus sebagai kursi‖pun tidak dapat berdiri tegak (Rosenfeld, 2015). Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 seperti memberi angin segar bagi para pejuang keadilan kekerasan seksual karena peraturan tersebut telah komprehensif membahas mengenai pencegahan, penanggapan, dan resolusi bagi korban kekerasan seksual. Yang perlu dilakukan pihak UI kedepannya ialah bagaimana mengaktualisasikan Permendikbudristek tersebut ke dalam suatu peraturan internal kampus dan bagaimana pengawasannya kelak agar korban mendapat keadilan.
Jadi bapak/ibu yang terhormat, petinggi perguruan tinggi yang katanya menyandang nama bangsa, sampai kapan UI akan dibiarkan dalam kondisi darurat kekerasan seksual?