Jika di negara-negara maju fokus permasalahan akses kesenjangan digital sudah pada tahap kestabilan internet. Di Indonesia, seperti yang sudah disinggung sebelumnya, cakupan geografis yang luas dengan topografi pegunungan dan lembah yang menyebabkan banyak pedesaan tersebar di seluruh pelosok negara membuat interkonektivitas antarwilayah dalam aspek internet masih sangat minim.
Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), Jamalul Izza, mengaminkan letak geografis menjadi tantangan bagi Kemenkominfo dalam mendorong percepatan penetrasi jaringan internet tetap (Jatmiko, 2021).
Berdasarkan data dari APJII per tanggal 9 November 2020, hasil menunjukan jumlah Pengguna Internet di Indonesia mencapai 196,7 Juta, dengan jumlah pengguna internet paling banyak berasal dari provinsi Jawa Barat, yakni 35,1 juta orang. Kemudian disusul Jawa Tengah dengan 26,5 juta orang.Â
Lalu Jawa Timur, dengan jumlah 23,4 juta orang dan Sumatera Utara mencapai 11,7 juta, sedangkan wilayah Timur, yakni Maluku dan Papua hanya menyumbang sekitar 3 juta (Bayu, 2020).Â
Data ini menunjukan bahwasanya perkembangan akses digital masih terkonsentrasi pada daratan Pulau Jawa dan wilayah barat Indonesia, serta mempertegas bagaimana ketimpangan akses digital masih terjadi di Indonesia dengan masih banyaknya wilayah Indonesia, khususnya bagian Timur, yang belum tersentuh oleh akses digital. Hasil dari kesenjangan digital dalam bentuk physical dan materials ini terlihat semakin jelas pada masa pandemi yang mengharuskan adanya Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ).Â
Tidak sedikit, masyarakat di Indonesia bagian Timur yang menentang kebijakan PPJJ sebab minimnya akses internet yang mereka miliki. Selain itu, timpangnya perekonomian juga menyebabkan tidak sedikit masyarakat yang kesulitan mengakses materi pendidikan karena tidak memiliki gadget.
Dewasa ini, pengguna internet aktif di Indonesia sudah mencapai diatas 45 juta pengguna. Sayangnya, menurut Menteri Komunikasi dan Informatika, Tifatul Sembiring, selama ini, pengguna internet masih banyak yang nonproduktif dengan menggunakannya sebagai hiburan untuk bermain game online, chatting, atau sekadar menjadi konsumen dari para konten creator (Kementerian Komunikasi dan Informasi Republik Indonesia, 2012).
Data dari riset aplikasi Sensor Tower menunjukan jumlah unduhan aplikasi tiktok mencapai angka 63,3 juta di mana Indonesia menyumbang sebesar 11 persen dari total pengguna, bahkan melebihi total unduhan aplikasi Zoom yang hanya sebesar 52,5 juta (Pertiwi, 2020).Â
Padahal aplikasi ini berbasis video call yang banyak digunakan untuk keperluan pendidikan maupun meeting. Fenomena ini menunjukan adanya kesenjangan digitan dalam tahap use and skill. Dapat dikatakan masih banyak masyarakat yang aktif menggunakan media digital dan internet tetapi tidak dapat mengoptimalkan penggunaannya untuk kegiatan yang produktif.Â
Gambaran lainnya terlihat pada seorang anak yang menghabiskan waktu 5-6 jam untuk menonton video di aplikasi Tiktok, padahal di luar, ayahnya sedang berusaha keras mengumpulkan uang dengan mengandalkan aplikasi Gojek Driver.
Selain itu, kesenjangan digital dalam aspek use and skill yang terkait dengan content-related dapat terlihat dengan rendahnya literasi digital di Indonesia. Hingga kini, masih banyak orang, khususnya orang tua, yang langsung menyebarkan informasi yang beredar di platform messenger seperti Whatsapp tanpa membaca hingga tuntas dan mencari tahu sumber berita yang akurat dan kredibel.