Mohon tunggu...
Catatan

“Menyesal (menjadi) Dokter” Sebuah Pandangan Tentang Keadilan

30 April 2015   11:04 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:31 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14303672721368645937

[caption id="attachment_413845" align="alignleft" width="300" caption="Dr. Agung Sapta Adi (kiri) saat menjadi pemohon uji materi UU Praktik Kedokteran. Foto: Humas MK"][/caption]

Dokter. Profesi di bidang kesehatan yang konon memiliki hati yang tulus, jiwa pengorbanan dan kerelaan dalam menolong. Profesi yang dianggap sebagai malaikat oleh sebagian orang, ya tidak masalah. Kerelaan dan pengorbanan dokter datang dari doktrin keras selama pendidikanya, yang berkata bahwa pasien adalah keluarga maka perlakukanlah pasien seperti keluarga sendiri. Memang, bukan sabda Tuhan.

Dokter dituntut dapat memberikan pertolongan dalam kondisi apapun, dalam kondisi biasa, bahkan dalam kondisi “cito” yakni kondisi mendesakdan perlu penanganan cepat. Tindakan yang dilakukan semata-mata berusaha untuk kesembuhan pasien, walaupun dalam semua tindakan resiko selalu muncul. Terkadang, resiko terjadinya komplikasi (penyulit), kecacatan, ataupun kematian sendiri sangat sulit untuk diprediksi. Seperti terjadinya emboli pada operasi. Namun, yang terjadi adalah, dokter dianggap sebagai Tuhan, atau dewa penyembuh yang pasti dapat menyembuhkan pasien karena dengan tindakanya. Salah.

Kekacauan pemahaman pada tindakan dokter tidak berhenti pada timbulnya persepsi dokter sebagai Tuhan saja. Masyarakat yang tidak memahami dengan baik resiko pada setiap tindakan medis akan berpandangan bahwa dokter sebagai Tuhan, sehingga semua kegagalan dalam penanganan mutlak kesalahan dokter. Pola pikir yang salah ini menjadikan dokter dalam kondisi rentan. Yakni rentan dicap melakukan malpraktik. Labeling malpraktik pada dokter akan memicu pelaporan tindak pidana atas dokter sendiri tanpa melihat apa yang sebenarnya terjadi dibelakangnya. Efek beruntun tersebut mungkin klimaks pada fenomena baru yakni kriminalisasi dokter. Yang dimaksud kriminalisasi dokter adalah tindakan yang semula bukan merupakan tindak kriminal menjadi tindak kriminal. Walaupun kosa kata kriminalisasi dokter ini masih menjadi perdebatan.

Kasus dokter Ayu seharusnya memberikan banyak pelajaran bagi masyarakat, penegak hukum, serta dokter sendiri. Kriminalisasi dokter nyata terjadi pada kasus dokter Ayu. Dokter Ayu yang dilaporkan, dinyatakan bebas pada pengadilan negeri, hingga sampai pada MA, dokter Ayu dinyatakan bersalah dan wajib dihukum penjara selama 10 bulan. Namun, pada saat dilakukan peninjauan kembali, dokter Ayu dinyatakan bebas. Kasus ini menunjukan bahwa kepastian hukum dokter masih sangat rendah, pada persidangan di MA, dokter Ayu mengatakan “bahwa dalam prosedur tindakan operasi SC, maka kita akan mengiris dinding perut” kata mengiris dianggap kurang manusiawi dan mengarahkan tindakan dokter Ayu sebagai tindak pidana, padahal memang begitu prosedurnya. Hal konyol ini terjadi karena tidak adanya peninjauan oleh badan atau komisi etik profesi seperti MKEK dan MKDKI yang lebih paham terkait tindakan medis dan lebih dapat membahasakanya sehingga pantas memberikan peninjauan pada setiap tindakan dan memutuskan apakah ada tindak pindana yang dilihat dari ada tidaknya unsur kesengajaan (dolus) dan kelalaian (culpa).

April 2015. Usulan peninjauan kembali oleh Dokter Indonesia Bersatu (DIB) ditolak total oleh MK. DIB mengajukan peninjauan kembali pada UU Praktik Kedokteran pasal 66 (3) yang berbunyi “Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghilangkan hak setiap orang untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana kepada pihak yang berwenang dan/atau menggugat kerugian perdata ke pengadilan” diubah dan dibaca menjadi “Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghilangkan hak setiap orang untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana kepada pihak yang berwenang sebatas hanya berlaku terhadap tindakan kesengajaan (dolus/opzet) atas akibat yang diancamkan pidana atau tindakan kedokteran yang mengandung kelalaian nyata/berat (cupta lata) dan telah dinyatakan terbukti demikian terlebih dahulu dalam sidang Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI).”. Tentunya pengajuan judicial review ini memiliki alasan. Pasal 66 ayat (3) memiliki potensi penafsiran yang luas, sehingga menggeneralisasikan semua tindakan dokter tanpa adanya peninjauan pada teori kesalahan hukum pidana yang terdiri dari dolus dan cupta. Selain itu, tidak dituliskan secara eksplisit MKDKI dalam Undang-Undang terkait proses pelaporan akan memberikan gambaran yang tidak jelas pada proses pelaporan dan peradilan tindakan medis. Sama kasusnya seperti kasus dokter Ayu. Pada akhir kasusnya dokter Ayu mengharapkan setiap proses peradilan terhadap tindakan dokter hendaknya didahului oleh pemeriksaan pada MKDKI sehingga, nantinya tidak menimbulkan paham kriminalisasi dokter.

Penolakan dari MK sendiri beralasan bahwa hal ini dilakukan untuk melindungi hak pasien. Namun, dari pandangan lain, bahwa proses peradilan melalui MKDKI juga tidak memiliki potensi harm bagi hak pasien. Karena pasien tetap dapat mengajukan tuntutan. Justru proses pada MKDKI akan memperjelas kasus yang dialami pasien, sehingga nantinya tidak akan terjadi kesalahan prosedur pemrosesan. Sehingga, alasan MK untuk melindungi hak pasien sangat diragukan.

Imbas pandangan kriminalisasi dokter serta penolakan judicial review oleh MK ini cukup besar. Kemungkinan terjadinya defensive medicine sangat tinggi, yakni dokter menarik diri pada saat harus menolong pasien dalam kondisi sulit yang beresiko terdapat kelainan (kasus kecelakaan, operasi cito, dan lain-lain). Pada saat melakukan tindakan, dokter dengan sadar ingin menolong nyawa pasien, walaupun dokter tidak dapat memprediksi terjadinya penyulit yang muncul, sehingga apabila dokter berhasil menolong, maka selamat dari hukum, namun apabila terjadi kegagalan maka akan berakibat pada ancaman pidana. Sehingga dapat disimpulkanbahwa, apa yang dilakukan dokter walaupun sesuai SOP, tidak ada unsur kesengajaan dan kelalaian tetap dapat dituntut ke ranah peradilan pidana. Selain itu, kerugian yang harus ditanggung adalah penarikan tugas praktik dokter resident di daerah terpencil, sehingga akan menyulitkan daerah terpencil karena tidak dapat menikmati layanan dokter spesialis di daerahnya. Lagi-lagi pasien yang dirugikan.

Pasien adalah keluarga kami disini, maka kami akan memperlakukan mereka seperti keluarga kami sendiri, sebaik mungkin, saat ketulusan kami dibayar dengan jeruji besi yang menyedihkan, (namun) kami tidak pernah menyesal (menjadi) dokter

Ditulis oleh: Ahmad Agus Faisal

Menteri Kajian Strategis BEM Keluarga Besar Mahasiswa Kedokteran Universitas Jenderal Soedirman.

Dikaji oleh: Tim Kajian Kementerian Kajian Strategis BEM KBMK UNSOED.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun