Mohon tunggu...
Wartakastrat
Wartakastrat Mohon Tunggu... Mahasiswa - Kastrat

Dalam upaya publikasi atau ekspansi informasi guna meningkatkan pengetahuan masyarakat, Departemen Kajian dan Aksi Strategis (Kastrat) membentuk suatu fungsi yang bernama Wartakastrat. Fungsi ini bergerak dalam bidang penulisan artikel atau kajian populer yang dipublikasikan melalui media berita online.

Selanjutnya

Tutup

Nature

Climate Change: Who is Responsible?

24 Februari 2024   12:40 Diperbarui: 24 Februari 2024   12:48 263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Penulis: Tirza Faithania Amaris

Landasan Teori

Climate change atau perubahan iklim merupakan isu global yang sangat mengancam saat ini. Beberapa indikator yang menimbulkan perhatian publik mengenai isu perubahan iklim ini adalah adanya peningkatan suhu temperatur udara hingga 1.1 derajat celcius dalam 130 tahun terakhir. Hal tersebut juga disertai dengan peningkatan suhu di lautan, pencairan es di kutub dalam jumlah yang besar, dan perubahan iklim yang ekstrim di beberapa wilayah [1]. Perubahan iklim ini memberikan dampak yang mengganggu keberlangsungan sektor-sektor kehidupan masyarakat di Indonesia termasuk mempengaruhi keseimbangan lingkungan. 

Berdasarkan letak geografis, Indonesia rentan untuk terdampak pemanasan global dan perubahan iklim. Data juga menunjukan bahwa 80% bencana di Indonesia termasuk bencana hidrometeorologi.  Sebagai negara kepulauan dan agraris, Indonesia sejatinya berpotensi tinggi terhadap perubahan cuaca yang mengakibatkan El Nino (curah hujan rendah) dan La Nina (curah hujan tinggi). Beberapa faktor penyebab terjadinya El Nino dan La Nina diantaranya anomali suhu yang mencolok di perairan samudera pasifik, melemahnya angin passat (trade winds) di selatan pasifik yang menyebabkan pergerakan angin jauh dari normal, kenaikan daya tampung lapisan atmosfer yang disebabkan oleh pemanasan dari perairan panas di bawahnya. Untuk Indonesia, ketika El Nino berlangsung, musim kemarau menjadi sangat kering serta permulaan musim hujan yang terlambat. Sedangkan ketika La Nina, musim penghujan akan tiba lebih awal dari biasanya. Fenomena El Nino mengakibatkan kekeringan dan kebakaran hutan serta lahan sedangkan fenomena La Nina menyebabkan pola tanam, periode tanam, produktivitas panen dalam bidang pertanian menjadi berubah [2].

“Hujan Bulan Juni” Penggalan sajak penyair kebanggaan Indonesia Sapardi Joko Damono yang kini menjadi sebuah fenomena nyata yang terjadi di Indonesia. Hal ini tidak sesuai dengan jadwal perubahan musim di Indonesia. Perubahan iklim di Indonesia pada dasarnya dipengaruhi oleh monsoon circulation benua Asia dan Australia, yang ciri khasnya adalah sistem angin dekat permukaan berubah arah hampir sekitar setengah tahun sekali. Perubahan tersebut menyebabkan perubahan musim utama, yakni musim penghujan dan musim kemarau. Dampak climate change terhadap Indonesia, tidak hanya terjadi di Jakarta, namun ratusan pulau di Indonesia terancam tenggelam pada tahun 2100. Selain itu, kondisi kenaikan permukaan air laut telah sampai pada titik dimana masyarakat terpaksa untuk melakukan relokasi tempat tinggal. Jika hal tersebut terjadi, maka “climate refugees” atau pengungsi iklim akan diperkirakan bertambah [3]. 

Berbagai penelitian menyimpulkan bahwa penyebab utama dari perubahan iklim ini tak lain dan tak bukan adalah akibat ulah manusia. Aktivitas manusia menimbulkan green house gas (GHG) yang menyebabkan pemanasan bumi jauh lebih cepat dalam 2.000 tahun terakhir. Suhu rata-rata bumi saat ini meningkat 1.1 derajat celcius dibandingkan abad ke 18 diawal revolusi industri. Dekade terakhir (tahun 2011-2020) juga terkonfirmasi sebagai rekor kondisi suhu tertinggi bumi. Substansi green house gas utama yang menyebabkan climate change seperti karbon dioksida dan metana ditimbulkan utamanya dari sektor industri. Penggunaan energi fosil seperti batubara, minyak, dan gas untuk berbagai keperluan dari berbagai sektor global, penggunaan kendaraan bermotor dengan energi fosil sebagai bahan bakar, dan deforestisasi yang menghambat proses penyerapan karbon dioksida kembali oleh tumbuhan memicu pula perubahan iklim di dunia. Intergovernmental Panel on Climate Change tahun 2022 mengatakan bahwa peningkatan GHG di atmosfer yang signifikan berasal dari CO2 hasil industri dan bahan bakar fosil (64%), metana (18%), CO2 hasil alih fungsi lahan dan hutan (11%), N2O (4%), gas berfluorinasi/ F-gases (2%) [4]. 

Produksi emisi GHG dunia semakin tahun semakin pertambah. Mulai dari sektor industri, transportasi, hingga kegiatan individu. Merujuk data dari Our World In Data, total emisi CO2 dunia pada tahun 2020 mencapai 34 Miliar Ton. Apabila dilihat dari level Income negara. Negara dengan High Income menyumbang 12 Miliar Ton CO2 atau 35%, negara dengan Upper-Middle Income menyumbang emisi GHG terbanyak yaitu 16 Miliar Ton CO2 atau 47% sementara negara dengan Lower-Middle Income menyumbang 6 Miliar Ton CO2 atau 17% dan terakhir, negara dengan Lower Income hanya menyumbang 0,16 Miliar Ton CO2 atau kurang dari 1%. Jika data-data ini di analisis, didapatkan bahwa negara dengan emisi tertinggi merujuk pada faktor populasi manusia yang lebih banyak [5].

Dampak pada Berbagai Sektor

Apabila dibagi dan dilihat secara sektoral, terdapat lima dampak yang dapat langsung dirasakan dari climate change. Yang pertama adalah kelangkaan air bersih akibat dari kondisi bumi yang panas yang menyebabkan kekeringan atau curah hujan yang tinggi sehingga menyebabkan banjir. Selanjutnya adalah kerusakan ekosistem alam akibat kekeringan atau kebakaran lahan atau hutan dimana kebakaran hutan akan meningkatkan emisi gas rumah kaca ke atmosfer dan merusak ekosistem serta keanekaragaman hayati. Kemudian climate change menyebabkan kerusakan ekosistem lautan akibat gas rumah kaca yang menyebabkan peningkatan kadar karbondioksida dalam laut sehingga dapat mempercepat proses pemutihan terumbu karang dan mengganggu ekosistem lautan. Selain itu, pemanasan global juga dapat menyebabkan kenaikan permukaan laut. Perubahan iklim juga berdampak pula penurunan kualitas kesehatan manusia [3].

Dari sektor kesehatan, perubahan iklim dapat memberi dampak bagi kesehatan masyarakat global secara langsung maupun tidak langsung. Dilansir dari jurnal “The Lacet”, climate change merupakan tantangan kesehatan terbesar yang dialami global pada abad ke-21. Berbagai penelitian mengatakan bahwa kondisi panas ekstrem menyebabkan gangguan seperti penyakit kardiovaskuler. Hal ini karena pada kondisi ekstrem, tubuh berkeringat dan mengeluarkan cairan tubuh lebih banyak sehingga sistem tubuh kekurangan garam. Hal ini menyebabkan cairan dalam darah berkurang dan darah semakin kental sehingga kerja jantung semakin berat. Menurut Kai Chen, asisten profesor di Yale School of Public Health dan Direktur Penelitian Yale Center on Climate Change and Health, kondisi panas juga menyebabkan peradangan yang buruk bagi kerja jantung. Selanjutnya, perubahan iklim yang menyebabkan perubahan pola cuaca memicu peningkatan resiko penularan penyakit menular akibat perluasan geografis oleh vektor penyebaran penyakit menular. Perubahan iklim yang menyebabkan kebakaran hutan hingga mengeluarkan partikel-partikel yang apabila terhirup oleh paru-paru berpengaruh jangka panjang pada kemampuan kognitif manusia sehingga meningkatkan risiko demensia. Penelitian juga mengatakan bahwa heat stress menyebabkan gangguan ginjal kronis seperti infeksi saluran kemih dan batu ginjal. Penyakit ini beresiko tinggi pada pekerja di luar lingkungan dengan kondisi panas dan kelembaban yang tinggi. Perubahan udara telah berdampak pada polusi udara saat ini yang melebihi batas yang telah ditetapkan oleh WHO, hal ini menyebabkan gangguan pernafasan seperti pneumonia, Chronic Obstructive Pulmonary Disease, hingga kanker paru-paru [6].

Respon dan Kesepakatan Indonesia

Lantas siapakah yang harus bertanggung jawab atas hal ini? Negara memiliki kewajiban untuk menjamin hal tersebut seperti yang tertulis pada Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Hal tersebut termasuk perubahan iklim, terkait hal ini Indonesia secara spesifik telah mengatur terkait perubahan iklim yang terdapat di UU 31/2009, yang mengatakan bahwa pemerintah wajib melakukan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Upaya adaptasi dan mitigasi climate change merupakan salah satu agenda utama dalam tujuan Sustainable Development Goals (SDGs) poin ke-13 pada tahun 2030. Mitigasi adalah usaha pengendalian untuk mengurangi resiko akibat perubahan iklim melalui kegiatan yang dapat menurunkan emisi atau meningkatkan penyerapan gas rumah kaca dari berbagai sumber emisi, sedangkan adaptasi adalah suatu proses untuk memperkuat dan membangun strategi antisipasi dampak perubahan iklim serta pelaksanaannya sehingga mampu mengurangi dampak negatif dan mengambil manfaat positifnya [7].

Dalam menghadapi isu ini, Indonesia telah mengesahkan Nationally Determined Contribution (NDC) pada Paris Agreement yang dicantumkan pada UU Nomor 16 Tahun 2016. NDC merupakan komitmen setiap negara terhadap Paris Agreement ke United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), Indonesia sepakat untuk menurunkan laju emisi sebesar 29 persen dengan usaha sendiri dan 41 persen dengan bantuan internasional dari level Business as Usual  pada 2030. Kemudian pada tahun 2022, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah menyampaikan dokumen enhanced NDC yang menetapkan kebijakan-kebijakan nasional terkait perubahan iklim. Hal ini berisi penguatan target NDC menjadi 31,89 persen secara mandiri dan 43,2 persen dengan bantuan luar negeri [8]. 

Untuk jangka panjang Indonesia telah menyusun Long-Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience (LSTLCCR) 2050 [9]. Hal ini ditujukan sebagai bentuk komitmen Indonesia mendukung transisi keberlanjutan menuju ekonomi rendah karbon, pemulihan pasca pandemi COVID-19, serta keadilan global. Pemerintah percaya bahwa langkah ini merupakan kesempatan untuk memulai fase transisi yang mengarah pada transformasi pembangunan ekonomi, sosial, dan lingkungan secara keseluruhan. Namun, untuk mencapai target-target tersebut diperlukan biaya yang sangat besar, terutama sektor energi dan transportasi, serta kehutanan (Third Biennial Update Report KLHK, 2021). Estimasi biaya berdasarkan Laporan Third Biennial Update Report yang dikeluarkan oleh KLHK pada tahun 2021 mencapai Rp4.000 triliun rupiah hingga tahun 2030 [10]. 

Penutup

Perkembangan teknologi sudah berlangsung selama berabad-abad dengan berbagai penemuan yang hadir untuk mempermudah aktivitas manusia dalam berbagai sektor seperti industri, transportasi, ekonomi, dan lain sebagainya. Namun sayangnya hal ini meninggalkan jejak negatif berupa emisi GHG. Data yang ada menyebutkan bahwa negara dengan level pendapatan per-kapita menengah hingga tinggi merupakan penghasil utama emisi GHG dunia. Melihat dari hal ini, negara termasuk konstitusi di dalamnya harus bertanggung jawab atas hal ini, termasuk untuk menjamin kesejahteraan rakyatnya. Emisi yang dihasilkan suatu negara merupakan akibat dari penggunaan rakyatnya untuk memenuhi kebutuhannya. Oleh karena itu, perlu adanya usaha-usaha yang dilakukan pemerintah negara untuk memenuhi kebutuhan rakyat tanpa menghasilkan substansi-substansi yang dapat mempengaruhi iklim. Beberapa kebijakan telah diimplementasikan untuk memitigasi dampak yang ditimbulkan oleh perubahan iklim pada sektor-sektor yang terdampak. Salah satunya adalah energi alternatif energi terbarukan. Hal ini diimbangi pula dengan adaptasi teknologi dan sosial ekonomi. Namun hingga saat ini diketahui bahwa biaya produksi energi terbarukan lebih mahal dibanding energi konvensional. Untuk kedepannya, pemerintah pada bidang research and development perlu untuk mengembangkan energi terbarukan dengan biaya produksi yang lebih rendah. Untuk perkembangan jangka panjang energi terbarukan, pemerintah perlu memiliki komitmen dan kontrol yang baik, serta capaian jangka panjang yang dapat mendampingi negara berkembang dalam implementasi energi terbarukan pada sektor energi negara.

Referensi : 

  1. Edvin A, Mimin K, Budiman. Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim di Indonesia [Internet]. Jakarta: BMKG; 2011. Available from: https://www.researchgate.net/profile/Edvin-Aldrian/publication/309721670_Adaptasi_dan_Mitigasi_Perubahan_Iklim_di_Indonesia/links/581ec39c08aea429b295db6b/Adaptasi-dan-Mitigasi-Perubahan-Iklim-di-Indonesia.pdf

  2. Junarto, M. Mitigasi Perubahan Iklim dan Dampak Pengelolaan Sumber Daya Agraria: Wawasan dari Indonesia. Tunas Agraria. 2023 Sep 13;6(3):237–54.

  3. ‌Cahya, W. “Hujan Bulan Juni”: Sebuah Ancaman Perubahan Iklim [Internet]. DJPb | Direktorat Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan RI. 2023 [cited 2024 Feb 22]. Available from: https://djpb.kemenkeu.go.id/portal/id/berita/lainnya/opini/4046-

  4. ‌United Nations. What Is Climate change? [Internet]. Climate Action. United Nations; 2023. Available from: https://www.un.org/en/climatechange/what-is-climate-change

  5. ‌Ritchie H, Roser M. CO2 emissions [Internet]. Our World in Data. 2020. Available from: https://ourworldindata.org/co2-emissions

  6. Romanello M, Claudia Di Napoli, Green C, Kennard H, Lampard P, Scamman D, et al. The 2023 report of the Lancet Countdown on health and climate change: the imperative for a health-centred response in a world facing irreversible harms. The Lancet. 2023 Nov 1;402(10419).

  7. Zukmadini AY, Rohman F. Edukasi Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Menggunakan Film Dokumenter. Kumawula: Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat [Internet]. 2023 Apr 2;6(1):191–203. Available from: https://jurnal.unpad.ac.id/kumawula/article/view/39503

  8. ‌UNFCCC. United Nations Framework Convention on Climate Change [Internet]. 1992. Available from: https://unfccc.int/files/essential_background/background_publications_htmlpdf/application/pdf/conveng.pdf

  9. ‌Long-Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience 2050 | Climate Policy Database [Internet]. www.climatepolicydatabase.org. [cited 2024 Feb 22]. Available from: https://www.climatepolicydatabase.org/policies/long-term-strategy-low-carbon-and-climate-resilience-2050

  10. Bappenas. Indonesia’s Updated NDC for a Climate Resilient Future. [Internet]. Green Growth. Available from: http://greengrowth.bappenas.go.id/en/indonesias-updated-ndc-for-a-climate-resilient-future/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun