Human Immunodeficiency Virus atau kerap dikenal dengan HIV merupakan salah satu virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan dapat menyebabkan penyakit AIDS, di mana tubuh tidak mampu melawan infeksi dan penyakit yang masuk ke dalam tubuh.Â
Hingga saat ini diketahui bahwa penularan HIV sendiri dapat melalui kontak dengan cairan tubuh orang yang terinfeksi, seperti darah, sperma, cairan vagina, cairan anus, asi, dan lainnya hingga melatarbelakngi HIV menjadi salah satu permasalahan global yang berusaha ditangani dengan serius di seluruh dunia.Â
Kasus kejadian HIV tergolong tinggi yaitu sebesar 0,7% dari populasi usia 15 hingga 49 tahun, atau sekitar 39 juta orang diseluruh dunia, dengan prevalensi tertinggi yaitu di wilayah Afrika, yaitu sebesar (3,2%) di populasi usia 15 hingga 49 tahun atau sekitar 25,6 juta jiwa menurut data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2022 (World Health Organization, 2014).Â
Di Indonesia sendiri prevalensi HIV hingga tahun 2022 masih dikategorikan tinggi, dimana diperkirakan sekitar 0,2% dari populasi usia 15 hingga 49 tahun, atau sekitar 543.100 orang dengan prevalensi tertinggi terdapat di provinsi Papua dan Papua Barat, yaitu sekitar 1,8% dari populasi usia 15 hingga 49 tahun (Kementerian Kesehatan RI, 2022).
Akibat besarnya prevalensi kasus HIV di Indonesia, menyebabkan berbagai permasalahan mulai dari dari kesehatan, sosial, agama, dan lain sebagainya. Jika dilihat dari sudut pandang kesehatan, tingginya kasus HIV juga meningkatkan jumlah kasus AIDS di Indonesia, dimana dilaporkan sekitar 137.397 orang dinyatakan positif AIDS hingga tahun 2022.Â
Kemudia dilihat dari sudut pandang sosial, HIV dapat menimbulkan berbagai stigma dan diskriminasi pada pasien penderitanya, hal ini juga dapat terjadi akibat minimnya edukasi serta pengetahuan tentang HIV dan AIDS di masyarakat. Stigma yang terbentuk dapat berupa sikap negatif atau prasangka terhadap orang mulai dari yang terpapar hingga positif HIV.Â
Stigma tersebut menyebabkan adanya diskriminasi yang menyebabkan terjadinya isolasi sosial, kehilangan pekerjaan atau pendidikan, kekerasan fisik atau verbal, penolakan layanan kesehatan atau sosial, dan lainnya. Hal ini juga dapat menghambat akses orang dengan HIV atau kelompok risiko tertentu terhadap layanan kesehatan yang berkualitas dan berkesinambungan.
Melihat pada permasalahan yang ada, para peneliti selalu berupaya untuk menghadirkan sebuah penawar dalam memerangi HIV. Menciptakan vaksin HIV menjadi salah satu tujuan utama dalam bidang kesehatan jika dilihat dari berbagai dampak buruk yang ditimbulkan oleh virus HIV selama lebih dari 40 tahun. Melalui vaksin HIV berbagai pihak merasa bahwa permasalahan tersebut dapat diatasi, namun pengembangan dari vaksin HIV sendiri mengalami berbagai kesulitan dan tantangan, seperti mutasi virus yang tergolong cepat, keamanan produk yang relatif rendah, biaya produksi yang tinggi, dan faktor lainnya yang menjadi penghambat dari pengembangan vaksin HIV.Â
Meski dihadapi dengan hal tersebut tentu saja tidak menurunkan semangat dari para peneliti untuk terus mengembangkan vaksin HIV, hal ini sesuai dengan apa yang telah disampaikan oleh Mary Marovich, M.D., DTMH, FACP, selaku pemimpin pengembangan vaksin HIV di National Institute of Allergy and Infectious Diseases (NIAID) bahwa "Metode lama pembuatan vaksin HIV secara eksperimental menggunakan virus utuh yang tidak aktif tidak cukup aman untuk dipelajari, sehingga sebagai gantinya protein kompleks tertentu harus distabilkan dan diproduksi. Proses yang dilakukan sering memakan waktu bertahun-tahun dan sangat menantang juga mahal." (Fischer et al, 2021).
Sejak pandemi COVID-19 masuk ke Indonesia, berbagai Upaya dilakukan untuk mendapatkan vaksin guna memerangi kondisi saat itu. Melalui kasus tersebut ditemukanlah sebuah teknologi mRNA yang digunakan untuk membuat vaksin COVID-19 secara aman dan efektif. Tidak berhenti pada vaksin COVID-19, melalui teknologi mRNA muncul juga sebuah harapan baru untuk menciptakan vaksin HIV yang dapat merangsang sistem kekebalan dalam menetralisir berbagai strain HIV. Dimana vaksin mRNA dirasa memingkan untuk menghasilkan respons imun yang lebih baik dan efektif daripada desain vaksin sebelumnya berdasarkan pada hasil respons imun yang dihasilkan oleh vaksin COVID-19.
Hingga saat ini para peneliti memiliki tiga jenis vaksin HIV mRNA yang secara eksperimental sedang diuji dalam studi HVTN 302, yang didukung oleh NIAID. Studi ini bertujuan untuk mengevaluasi keamanan dan respons imun vaksin mRNA terhadap HIV pada 108 relawan. Jika berhasil, studi ini dipercaya akan membuka jalan untuk uji coba yang lebih besar lagi dalam menentukan efikasi vaksin mRNA dalam mencegah infeksi HIV ("Kabar Baik, Vaksin HIV Buatan Oxford Memasuki Uji Coba Klinis Tahap 1", 2021). Selain itu para ilmuwan juga menemukan beberapa hasil yang menyatakan bahwa vaksin mRNA berpotensi untuk melawan penyakit lainnya, termasuk influenza, demam berdarah, virus sincytial pernapasan (RSV), malaria, rabies, tuberkulosis, kanker, dan coronavirus lainnya, seperti sindrom pernapasan Timur Tengah (MERS), (Schneider et al. 2021).